Jeritan bisu, memenuhi kota-kota tua. Yang kelaparan, akan sepotong roti.
Tatapan mereka mengemis duka. Akan rumah-rumah yang tergusur.
Aku, melewati kota tua itu, dan mendengar lantunan doa,
Yang memohon, kepada Tuhan nya demi roti dan perlindungan
Kulihat, seorang bocah yang pundaknya terbebani dunia
Tatapan nya tajam namun haus.
Haus abadi akan kasih sayang ibu-bapak nya
Bocah itu berteriak.
“kami anak-anak waris sang Nabi, tapi kami diludahi tikus”
“kami meminta makan kepada para penguasa, tapi kami ditendangi”
“kami tetap manusia, tapi kami dianggap seonggok bangkai”
“kami ingin perlindungan, bukan dilempari kotoran”
“kami hanya anak-anak yang tak punya bapak!”
“ibu-ibu kami telah lama tiada!’
“kami ingin aman dari dunia yang membunuh kami!”
“dunia yang sebelumnya membunuh bapak-ibu kami!”
Aku menatap bola mata bocah itu.
Dan aku menangis.
Hati, bumi, dan langit yang menaungi ku pun menangis.
Apakah manusia sudah adil? Aku bertanya.
Ketika hanya memberi sebuah perlindungan.
Mereka hanya menatap dan berpaling
Kuteruskan perjalananku, untuk pulang ke rumah.
Menemui bocah kecil ku yang kutinggalkan
Tapi, ku tetap melihat kota tua itu.
Walau kota itu, sudah tak terlihat lagi.
Karya Puisi: Kahlil Ahmad Gibran
Kahlil Ahmad Gibran adalah Santri Pondok Pesantren Assa’adah, Serang. Ia lahir pada hari Minggu, 13 Desember 2000, bertepatatn dengan malam ke 17 Ramadhan 1424 H.