Adat tradisi “Rejepan” Wonosari Kabupaten Temanggung

Adat tradisi Rejepan Wonosari Kabupaten Temanggung
Adat tradisi "Rejepan" desa Wonosari, Kec. Bulu, Kab. Temanggung

TEMANGGUNG, Pelitabanten.com – Kepala desa Wonosari, Kec. Bulu, Kab. Temanggung, Agus Parmuji menilai, kekentalan adat dan kerukunan gotong royong masih mengakar di desa-desa di lereng gunung Sumbing, Sindoro, dan Prahu.

Hal ini dibuktikan ketika di bulan Rojab, hampir semua desa di lereng gunung-gunung tersebut  menggelar ritual  demi kelestarian sebuah tradisi.

Dituturkan Agus, setelah terdengar bunyi kentongan di pagi hari sekitar jam 7.30 wib, warga berbondong-bondong menuju punden (tempat keramat), sambil membawa rakitan yang dibawa dengan tenong dan bakul yang  berisikan ingkung (ayam masak), lanyahan (sayur mayur, tempe, krupuk), ketan salak (wajik merah, ketan putih), dan pisang rojo.

“Tradisi tersebut merupakan tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang dengan maksud dan tujuan mendoakan leluhur atau pepunden yang diyakini telah mampu membawa perubahan di daerah tersebut dan juga sebuah penghormatan kepada leluhur,” kata Agus di Temanggung, Jumat (07/04).

Adat tradisi Rejepan Wonosari Kabupaten Temanggung
Adat tradisi “Rejepan” desa Wonosari, Kec. Bulu, Kab. Temanggung

Agus mengungkapkan, leluhur atau pepunden,  menurut keterangan cerita adalah seoarang ulama yang telah membawa bibit tembakau ke daerah lereng pegunungan. Beliau  adalah Ki Ageng Makukuhan.

“Ki Ageng Makukuhan diyakini oleh masyarakat setempat merupakan seorang Wali Allah  yang bertugas  menyebarkan ilmu keagamaan di daerah pegunungan dan juga seorang ahli pertanian,” terang dia.

Adat tradisi Rejepan Wonosari Kabupaten Temanggung
Adat tradisi “Rejepan” desa Wonosari, Kec. Bulu, Kab. Temanggung

Menurut cerita yang berkembang, bahwa tembakau diambil dari kata  “tambaku” (obatku), maksudnya, obat kelaparan atau obat keterpurukan masyarakat pada jaman dahulu sehingga dengan tanaman tersebut masyarakat bisa bertahan hidup.

Adat tradisi “Rejepan” dilakukan rutin di setiap  desa-desa pada  bulan Rojab antara tanggal 10 sampai 15 kemudian pada siang hari dilanjutkan “Njereng Gamelan” atau pentas kesenian adat ritual  sebagai bentuk perawatan keanekaragaman budaya, adat istiadat, dan tradisi.

“Adalah tugas dan tanggung jawab bersama untuk menjaga dan merawat ragam budaya, adat istiadat, dan tradisi,” pungkas dia.