Beranda Bisnis

Pentingnya Kenaikan Tarif Cukai 30% Hasil Tembakau Untuk Mendukung Pencapaian Target RPJMN Indonesia

Pentingnya Kenaikan Tarif Cukai 30% Hasil Tembakau Untuk Mendukung Pencapaian Target RPJMN Indonesia
Ilustrasi

JAKARTA, Pelita Banten.Com – Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta menyelenggarakan konferensi pers (21/9) untuk mendukung pemerintah menaikan cukai hasil tembakau sampai 30% berdasarkan hasil analisa terkait dengan kenaikan cukai rokok yang telah dilakukan.

Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia selama ini tidak pernah tetap dan selalu berubah setiap tahunnya. Kebijakan kenaikan cukai ditetapkan untuk mengendalikan dan menurunkan konsumsi rokok di masyarakat serta meberikan tambahan penerimaan negara. Sehingga dua kepentingan ini menjadi pisau bermata dua, yaitu penurunan konsumsi (pengendalian eksternalitas negatif akibat rokok) dan penerimaan negara ini yang kadang dijadikan polemik tidak berimbang.

Jika kita lihat dalam situasi COVID-19, kerugian negara akibat rokok akan semakin tinggi atau naik. Banyak bukti menunjukkan bahwa perokok lebih rentan memiliki gejala-gejala COVID-19 yang lebih parah jika dibandingkan dengan bukan perokok. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh the New England Journal of Medicine, perokok memiliki resiko gejala sebanyak 2,4 kali lebih parah jika terkena COVID-19 dibandingkan dengan bukan perokok. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok diasosiasikan dengan prognosa COVID-19 yang buruk.

Perokok yang terpapar COVID-19 akan memiliki resiko penyakit lebih berat hingga perlu perawatan di ICU, penggunaan ventilator sampai resiko kematian (WHO, 2020).

Apalagi, Indonesia saat ini mengalami defisit 307,2 Triliun atau 1,76% dari PDB (Kemenkeu, 18 September 2020). Pandemi COVID-19 di Indonesia telah menggerus pendapatan negara bersamaan dengan risiko–risiko perekonomian Indonesia. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan kerugian akibat pandemi COVID-19 di Indonesia mencapai Rp 320 triliun selama kuartal I-2020. Hal itu dikarenakan ekonomi nasional merosot sekitar 2,03% (Detik, 2 Juni 2020).

Kondisi ekonomi dan keuangan negara akan semakin berat dengan bertambahkan beban kondisi sosial kemanusiaan yang diakibatkan COVID-19. Beban kesakitan masyarakat Indonesia baik fisik dan non fisik akibat COVID-19 semakin bertambah. Alternatif kebijakan – kebijakan dari sisi fiskal sangat diperlukan dalam kondisi dan situasi saat ini. Proyeksi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2020 hanya Rp. 163,8 T, jumlah tersebut lebih rendah dari target revisi APBN 2020 sebesar Rp. 164, 95 T.

Balitbang kesehatan menghitung kerugian makro rokok (sebelum COVID-19) di Indonesia yaitu kurang lebih Rp. 600 T atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama (Kosen, 2015). Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun sebelumnya. Kerugian makro ini dihitung menggunakan beban biaya kesakitan dan kehilangan tahun produktif. Sementara berdasarkan teori Negatif Multiplier Effect, kerugian akibat rokok di Indonesia adalah sebesar Rp. 793,7 T (CHED– ITB AD, 2020). Pendekatan ini menunjukkan bahwa eksternalitas produk rokok tidak hanya bisa dihitung dari sisi dampak negatif yang ditimbulkan seperti; perokok pasif, stunting, dan tingginya biaya kesehatan tetapi juga dari sisi nilai konsumsinya yang tidak memberikan nilai tambah karena menutup peluang untuk mengkonsumsi produk-produk lain yang lebih produktif, misalnya telur, beras, susu dll.

Perbandingan penerimaan dan kerugian makro ekonomi akibat rokok menunjukkan perbandingan 1 : 5. Penerimaan negara dari cukai rokok selama ini belum memberikan keseimbangan terhadap kerugian makro yang di timbulkan di masyarakat.
Apalagi jika dikaitkan bahwa sebesar 70% perokok aktif adalah orang miskin. Sehingga jika tarif cukai rokok dinaikkan, maka prevalensi perokok dari masayarakat miskin dan anak-anak akan turun (karena anak-anak belum memiliki pendapatan dan hanya mengandalkan uang saku untuk membeli rokok). Karena harga sangat mempengaruhi prevalensi perokok (Kwon et al, 2019). Namun nampaknya, sejauh ini tarif cukai rokok belum efektif untuk pengendalian konsumsi. Prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun mencapai 9,1% (Riskesdas, 2018), padahal target Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional atau RPJMN 2019 sebesar 5,4% pada perokok anak.

Prioritas kebijakan Industri Hasil Tembakau dalam Road Map Industri HT dan Kebijakan Cukai HT pada kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan adalah kesehatan. Sehingga kenaikan cukai diharapkan bisa berdampak terhadap indikator makro, mikro dan kualitas hidup untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat terkait dengan target capian RPJMN Indonesia 2020-2024. Beberapa studi menunjukkan bahwa kenaikan cukai hasil tembakau 10% berdampak pada penurunan konsumsi sebesar dan penerimaan negara rata – rata akan menurunkan konsumsi sebesar 4% dan meningkatkan penerimaan negara rata- rata sebesar 7,7% ( BKF Kemenkeu, 2019), artinya kenaikan cukai HT (Hasil Tembakau) yang sebesar 10% belum secara maksimal memberikan dampak positif yang signifikan dari sisi penerimaan dan pengendalian konsumsi. Sehingga kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2020 harus diatas 10%.

Berdasarkan snalisa situasi diatas dan kajian yang kami lakukan terhadap kebijakan cukai hasil tembakau, CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta menyampaikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah khususnya Presiden, yaitu:

1. Memaksimalkan tarif cukai hasil tembakau tahun 2020 sebesar 30%, untuk mendorong kenaikan harga rokok eceran di pasaran naik dan tidak terjangkau oleh anak- anak dan masyarakat miskin, dan sekaligus mendongkrak penerimaan negara yang lebih tinggi.

2. Menjaga dan melaksanakan road map pengendalian tembakau di Indonesia yang sejalan dengan napas visi dan misi Presiden Mewujudkan SDM Unggul.

3. Menetapkan simplikasi layer cukai hasil tembakau sesuai dengan 3 (tiga) jenis hasil tembakaunya untuk semua golongan industri, untuk mendukung sistem penerimaan cukai hasil tembakau.*