Pelitabanten.com – Pada awal januari 2021, harga kedelai impor mengalami peningkatan signifikan yakni sekitar 35-50 persen.. Usut punya usut, ternyata kondisi ini disebabkan oleh peningkatan permintaan global terutama dari China yang tidak diimbangi oleh penawaran yang tidak memadai.
Pada bulan Desember lalu permintaan kedelai di negara tersebut naik dua kali lipat, dari awalnya 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Harga pun terkerek, dari 11,92 dolar AS/bushels pada November menjadi 12,95 dolar AS/bushels per Desember ini membuat harga kedenail nasional naik yang bermula dari 7 ribu menjadi 9 ribu rupiah perkilogram.
Kondisi seperti ini tentu membuat sulit banyak pihak, salah satu yang paling terkena dampaknya adalah produsen tahu dan tempe, kondisi ini tentu menyebabkan banyak efek terhadap tahu dan tempe. Kedua komoditas tersebut pada awal tahun susah dicari di pasar dan dengan harga yang meningkat.
Bukan sampai situ saja, beberapa produsen tahu tempe juga memutuskan untuk mogok sementara sejak tanggal 1-3 dikarenakan mahalnya harga komoditas kedelai yang menjadi bahan baku pembuatan tahu dan tempe dan memulai produksi lagi di tanggal 4, itupun dengan menaikkan harga untuk menyiasati produksi agar tetap bisa bertahan dalam memproduksi tahu dan tempe.
Sektor Pertanian dan Wakaf Sebagai Jawaban
Sektor pertanian, yang diharapkan mampu menjadi solusi atas instabilitas harga kedelai di dalam negeri ternyata belum dikerjakan dengan maksimal. Pada hari ini, kedelai impor masih jadi andalan para produsen tahu dan tempe lokal karena harganya yang lebih murah.
Harga kedelai impor ada dikisaran Rp 9.500/kg sedangkan petani lokal masih memerlukan biaya Rp 12.000/kg hanya untuk menutup beban produksi. Kondisi ini dipahami oleh mentri pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang mengatakan akan mengupayakan produksi didalam negeri.
Tentunya hal tersebut memerlukan bantuan banyak pihak dan ekonomi Islam memiliki solusi membantu mengatasi permasalahan tersebut, yakni dengan wakaf.
Terdapat 2 jenis petani di Indonesia jika dilihat dari kepemilikan lahan, yakni petani pemilik lahan dan petani penggarap. Petani pemilik lahan menggarap lahan tani miliknya sendiri sedangkan petani penggarap mengerjakan lahan tani milik orang lain.
Tanah wakaf dapat dialihfungsikan sebagai lahan pertanian kedelai. Nantinya ini membuka akan peluang kerja bagi petani penggarap maupun masyarakat yang belum bekerja untuk menggarap tanah wakaf tersebut.
Tetapi hal ini masih belum cukup, terdapat biaya-biaya yang mesti dikeluarkan untuk membayar petani penggarap, membeli bibit dan perlengkapan pertanian lain. Biaya-biaya ini nantinya akan ditutup melalui dana wakaf tunai produktif yang dapat dihimpun secara khusus. Dana tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan dalam sekali panen.
Tentunya perhitungannya tidak bisa sembarangan karena hasil penjualan bersih (laba) hasil pertanian harus setidaknya sama dengan dana wakaf yang telah dihimpun. Dana tersebut nantinya digunakan lagi untuk masa tanam selanjutnya.
Kemudian dilakukan studi pengembangan bisnis, apabila dimungkinkan untuk meningkatkan skala produksi (pertanian kedelai), maka akan dilakukan penghimpunan dana wakaf tunai produktif. Tindakan ini dengan asumsi bahwa masih terdapat sebagian tanah wakaf yang belum tergarap dalam satu komplek tanah wakaf tersebut.
Pengembangan wakaf hingga saat ini telah memiliki banyak manfaat bagi umat sehingga perlu didorong lebih banyak realisasinya di lapangan termasuk di sektor pertanian. Banyak industri turunan dari sektor pertanian yang bisa dikembangkan lebih lanjut jika kita mampu untuk memiliki keterjangkauan harga di pasar. Dari sini diharapkan wakaf bisa membantu permasalahan produksi pertanian dan memberikan kesejahteraan bagi umat.
Penulis: Asep Maulana, Zakky Royhul (Mahasiswa Universitas Airlngga Jurusan Ekonomi Islam)