Beranda Opini

Resepsi dan Resistensi dalam Seni Arsitektur Islam (bag. 2)

Resepsi dan Resistensi dalam Seni Arsitektur Islam (bag. 1)
Rahmat Hidayatullah, Pengurus Litbang dan Advokasi Dewan Kesenian Banten (DKB)

The Dome of the Rock… is a most splendid and singular achievement, a true work of architectural art.”

–II–

Pendekatan relativis Grabar telah memberikan wawasan yang berharga dalam upaya mendekati seni Islam secara lebih objektif. Dalam perspektif ini, pembentukan seni Islam dapat dilihat sebagai akumulasi dan distribusi baru bentuk-bentuk dari seluruh dunia yang ditaklukkan, sebagai pemilahan sadar dari makna-makna yang terkait dengan bentuk, dan sebagai penciptaan sejumlah karakteristik bentuk-bentuk baru yang terbatas. Richard Ettinghausen dkk. mengemukakan sudut pandang serupa dengan ungkapan sebagai berikut:

“Dengan demikian, bangsa Arab penakluk, dengan tradisi artistik mereka yang relatif sedikit dari budaya visual yang terbatas, menembus dunia yang tidak hanya sangat kaya akan tema dan bentuk artistik, bahkan memiliki kosa kata universal, namun juga pada titik temu sejarah ini, telah mengisi bentuk-bentuknya dengan intensitas yang tidak biasa. Keaslian metodologis dan intelektual seni Islam dalam tahap formatifnya terletak pada demonstrasi perjumpaan antara penggunaan bentuk-bentuk visual yang sangat kompleks dan canggih dan sistem keagamaan dan sosial baru tanpa doktrin ideologis yang menuntut ekspresi visual.”

Proses persilangan antar budaya dalam seni Islam itu, antara lain, dapat dilihat dalam salah satu manifestasi arsitektural seni Islam awal; Kubah Batu (Dome of the Rock; Qubbat al-Sakhrah). Kubah Batu adalah tempat suci di Yerusalem yang dibangun oleh khalifah Umayyah, Abd al-Malik ibn Marwan, pada akhir abad ke-7 M. Selesai dibangun pada 961 M, Kubah Batu adalah monumen Islam tertua yang masih lestari hingga saat ini dan kemungkinan besar merupakan ikhtiar artistik pertama Dinasti Umayyah. Batu di mana tempat suci itu dibangun merupakan batu suci bagi Muslim dan Yahudi. Secara tradisional, tradisi Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad naik ke surga pada momen Isra Mi’raj dari tempat ini. Dalam tradisi Yahudi, Abraham, nenek moyang dan patriark pertama orang Ibrani, diceritakan telah mempersiapkan untuk mengorbankan anaknya Ishak di tempat ini. Lokasi Kubah Batu berdekatan dengan Masjid Al-Aqsa; keduanya berada di Temple Mount, situs Solomon Temple, daerah yang dikenal oleh umat Islam sebagai Al-Haram al-Sharif. Struktur dan ornamen Kubah Batu berakar pada tradisi arsitektur Bizantium, namun konstruksinya pada abad ke-7 M merupakan tahap awal kemunculan gaya visual Islam yang berbeda (distinct Islamic visual style).

Karakteristik utama Kubah Batu mengikuti praktik arsitektur Late Antiquity dalam versi Kristennya. Ini termasuk dalam kategori bangunan yang direncanakan secara terpusat, yang dikenal sebagai martyria, dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tempat suci Ascension dan Anastasis dalam tradisi Kristen. Sebagian besar teknik konstruksi—lengkungan pada tiang dan kolom, kubah kayu, jendela (grilled windows), susunan batu dan batu bata—serta sistem proporsi yang rumit juga berasal langsung dari arsitektur gereja Bizantium dan lebih spesifik dari praktik gereja lokal Palestina. Hal yang sama berlaku untuk dekorasi. Beberapa mosaik dinding (wall mosaics) dan tapak marmer (marble facings) biasa ditemukan di tempat-tempat suci Kristen. Variasi tak berujung pada subyek vegetal, dari realisme pepohonan tertentu hingga karangan bunga yang sangat konvensional dan gulungan pola-pola seperti karpet, sebagian besar terkait dengan banyak mosaik zaman Kristen di Suriah dan Palestina.

Namun, akan menjadi sebuah kekeliruan untuk menganggap semua karakteristik ini hanya sebagai pemanfaatan kembali teknik dan tema Bizantium. Selain fakta bahwa makna atau signifikansinya tidak sama dengan model gerejawi (ecclesiastical models), monumen pertama budaya Islam baru ini, dalam beberapa area, telah beranjak dari tradisi tanah taklukan di mana ia dibangun: sifat hiasan mosaik (mosaic decoration), hubungan antara arsitektur dan dekorasi, dan komposisi elevasinya.

Pertama, hiasan mosaik, yang hampir seluruhnya masih bertahan dalam keadaan aslinya di area seluas sekitar 280 meter persegi, tidak mengandung representasi makhluk hidup (living being), manusia (human) atau hewan (animal) tertentu. Rupanya orang-orang Muslim kala itu sudah merasa bahwa elemen-elemen makhluk hidup itu tidak sesuai dengan ekspresi resmi iman mereka, dan mereka cenderung selektif terhadap kosakata artistik (artistic vocabulary) yang ditawarkan oleh tanah yang telah mereka taklukkan. Banyak fitur mosaik dalam monumen itu juga membawa makna ikonografis. Motif pepohonan, beberapa realistis dan yang lain cukup artifisial, bahkan telah dilihat oleh beberapa orang sebagai kenangan akan istana Sulaiman (Solomon’s palace).

Tulisan, dalam bentuk prasasti mosaik (mosaic inscription) panjang yang menjalar di bawah plafon oktagonal, muncul dengan makna dekoratif dan simbolis—penggunaan tulisan pada sebuah bangunan ini mungkin merupakan contoh paling awal yang diketahui dalam seni abad pertengahan (medieval art). Disebut dekoratif karena prasasti tersebut mengambil alih fungsi sebuah pembatas untuk sisa ornamentasi. Disebut simbolis karena, meskipun nyaris tidak terlihat dari bawah, prasasti tersebut berisi pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang hati-hati, yang berhubungan dengan Kristus dan tidak bertentangan dengan doktrin Kristen. Dengan demikian, prasasti tersebut menekankan pesan Muslim di kota Kristus. Karena tidak mau menggunakan citra figuratif (figurative imagery) tradisional yang berasal dari zaman Antiquity, dunia Muslim mengungkapkan gagasannya dengan terminologi non-figural. Di samping motif klasik, mosaik Kubah Batu memiliki palet, sayap, dan paduan bunga-bunga yang berasal dari Iran. Dengan demikian, Kekaisaran Umayyah memanfaatkan fitur dari keseluruhan wilayah yang telah ditaklukan, menggabungkannya untuk menciptakan kosakata artistiknya sendiri.

Akhirnya, mosaik Kubah Batu memperkenalkan dua prinsip dekoratif yang akan terus bergema dalam seni Islam selanjutnya. Prinsip pertama adalah penggunaan bentuk realistis yang tidak realistis (non-realistic use of realistic shapes) dan kombinasi bentuk naturalistik yang anti naturalistik (anti-naturalistic combination of naturalistic forms). Ketika para seniman Muslim merasa bahwa dekorasi yang lebih cemerlang diperlukan, mereka tidak ragu-ragu, misalnya, untuk mengubah batang pohon menjadi kotak berhias permata. Kombinasi bentuk dan tema tersebut kemungkinan tidak terbatas dan tidak terikat pada batasan yang dipaksakan oleh naturalisme ornamen klasik. Prinsip kedua adalah variasi berkesinambungan (continuous variety). Mosaik Kubah Batu menunjukkan beberapa jenis desain—terutama gulungan acanthus (acanthus scroll), karangan bunga (garland), gulir anggur (vine scroll), pohon (tree), dan hiasan berbentuk mawar (rosette). Dalam kebanyakan kasus, setiap variasi dalam tema mewakili interpretasi individual dari beberapa prinsip umum desain. Alasan sosial atau psikologis untuk variasi ini tetap tidak dapat dijelaskan.

Kedua, fitur artistik yang paling signifikan dari Kubah Batu adalah pembentukan hubungan baru antara arsitektur dan dekorasi. Pada masa itu, dunia Mediterania terus melanjutkan, meski dengan modifikasi, prinsip klasik dekorasi, terutama dekorasi ornamental, sebagai pelayan arsitektur, menekankan beberapa bagian bangunan, tapi jarang menekankan nilai esensial dari konstruksi itu sendiri. Pembangun Kubah Batu, bagaimanapun, menyembunyikan hampir semua struktur dasar klasik dengan marmer dan mosaik yang brilian. Yang menonjol dalam hal ini adalah bagian bawah lengkungan oktagon. Pada bagian ini terdapat tiga kelompok desain, dua di antaranya mengambil lebih dari satu setengah permukaan, sisanya mengambil separuh lainnya. Namun, komposisinya asimetris, karena kelompok desain ini tidak berada di tengah tapi mengarah ke sisi dalam bangunan, sehingga dengan sengaja menghancurkan kesatuan dasar permukaan. Selanjutnya, satu motif menyambung ke permukaan vertikal spandrel, sehingga menekankan satu kurva lengkungan yang berlawanan dengan yang lainnya.

Ini tidak berarti bahwa para pembuat mosaik Kubah Batu sama sekali menolak arsitektur yang didekorasi: dalam menggunakan pohon untuk permukaan persegi panjang yang tinggi dan gulungan untuk bujur sangkar, mereka jelas mengadaptasi bentuk ornamental ke area yang disediakan oleh para arsitek. Namun, dalam pemilihan banyak motif spesifik dan juga pada keseluruhan dinding yang ada, mereka menciptakan tempurung mahal di sekitar struktur, yang memisahkan diri dari tradisi daerah tersebut. Dinasti Umayyah mungkin telah mengembangkan selera ini sendiri, atau mereka sudah berada di bawah pengaruh mode Iran yang dikenal melalui plesteran Sasanian yang mencakup dinding bata lumpur. Mungkin mereka mencoba untuk menciptakan kembali efek Ka’bah di Mekah dalam bahasa Mediterania, di mana bagian luar bangunan ditutup dengan hiasan tekstil multiwarna dan dipenuhi dengan sejumlah besar harta karun, termasuk lukisan. Kubah Batu mewakili langkah pertama menuju apa yang disebut sebagai estetika tekstil islami, atau itu adalah contoh dari banyak cara ekspresi visual yang dikembangkan pada seni Antik Akhir (Late Antique) sejak zaman Justianian di Abad keenam.

Ketiga, fitur asli terkahir dari Kubah Batu adalah cara di mana kubah itu sendiri menonjol keluar dari oktagon. Efeknya sangat berbeda dengan San Vitale di Ravenna, Makam Suci (Holy Sepulchre), atau istana gereja di Aachen yang mana Kubah Batu sering dibandingkan—perbandingan ini bisa dibenarkan, jika seseorang hanya sekedar melihat rancangannya (plan) saja. Perancang Kubah Batu membuat kubah ini lebih signifikan dari luar daripada dari dalam, di mana sebenarnya hampir tak terlihat karena tinggi dan letak Batu. Seolah-olah bangunan itu memiliki dua pesan: Pertama, untuk mewartakan ke seluruh kota bahwa Islam telah menguduskan Kuil Yahudi (Jewish Temple); Kedua, untuk menyampaikan kesan tempat suci yang mewah (luxurious shrine) untuk tujuan internal dan terbatas. Untuk mencapai tujuan ini, para sponsor bangunan (mungkin khalifah ‘Abd al-Malik dan rombongannya di Damaskus), para insinyur atau pengawas yang bertanggung jawab atas pembangunan itu sendiri (Raja’ ibn Hayweh dan Yazid ibn Salam, mungkin pejabat Muslim Arab dari sebuah negara baru atau utusan penguasa), dan perajin yang melakukan pekerjaan sebenarnya (mungkin orang Kristen lokal atau impor) menyederhanakan tipe arsitektur yang ada ke bentuk geometrisnya yang paling murni. Keberanjakan minimal dari geometri eksak itu melayani tujuan visual yang sangat spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Eco, Umberto, Art and Beauty in the Middle Ages, trans. Hugh Bredin, New Haven: Yale University Press, 1986.

Necipoglu, Gülru, The Topkapi Scroll: Geometry and Ornament in Islamic Architecture, Santa Monica: The Getty Center for the History of Art and the Humanities, 1995.

Alami, Mohammed Hamdouni, Art and Architecture in the Islamic Tradition: Aesthetics, Politics and Desire in Early Islam, London: I.B. Tauris & Co Ltd, 2011.

Faruqi, Ismail Raji dan Faruqi, Lois Lamya, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 2002.

Faruqi, Ismail Raji, The Arts of Islamic Civilization, London: The International Institute of Islamic Thought, 1434 H/2013 M.

Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Art and Spirituality, Albany: State University of New York Press, 1987.

Hillenbrand, Robert, Islamic Art and Architecture, London: Thames and Hudson Ltd., 1999.

Hillenbrand, Robert, Islamic Architecture: Form, Function and Meaning, New York: Columbia University Press, 1994.

Grabar, Oleg, The Formation of Islamic Art, New Haven and London: Yale University Press, 1973.

Grabar, Oleg, The Mediation of Ornament, Princeton: Princeton University Press, 1995.

Leaman, Oliver, Islamic Aesthetics: An Introduction, Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 2004.

Ettinghausen, Richard, Grabar, Oleg & Jenkins-Madina, Marilyn, Islamic Art and Architecture 650-1250, New Haven and London: Yale University Press, 2001.