Beranda Opini

Resepsi dan Resistensi dalam Seni Arsitektur Islam (bag. 1)

Resepsi dan Resistensi dalam Seni Arsitektur Islam (bag. 1)
Rahmat Hidayatullah, Pengurus Litbang dan Advokasi Dewan Kesenian Banten (DKB)

We must look for the ways in which a given epoch solved for itself aesthetic problems as they presented themselves at the time to the sensibilities and the culture of its people. Then our historical inquiries will be a contribution, not to whatever we conceive ‘aesthetic’ to be, but rather to the history of a specific civilization, from the standpoint of its own sensibility and its own aesthetic consciousness.

–I–

Sebagian besar karya ilmiah tentang seni Islam, khususnya seni visual dan arsitektur, berkisar pada pertanyaan seputar representasi; semua diskusi tentang sikap masyarakat Muslim awal terhadap seni, dan terhadap Islam secara umum, dibingkai dalam konteks larangan terhadap penggambaran makhluk hidup dalam Islam. Ini terbukti dalam tulisan-tulisan para ilmuwan Barat dan Timur Tengah. Kecenderungan ini didasarkan pada sebuah visi seni yang dibatasi oleh konsepsi klasik tentang seni sebagai representasi tubuh manusia, yang menyiratkan sebuah oposisi antara seni dunia Islam dan dunia Barat. Gülru Necipoglu mencatat fakta ini dalam bukunya yang sangat terkenal, The Topkapi Scroll: Geometry and Ornament in Islamic Architecture, dalam ungkapan berikut: “Oposisi biner ini, yang didasarkan pada konstruksi dikotomis yang tajam antara penciptaan pola abstrak dan representasi mimetik dalam tradisi seni Barat, telah mewarnai literatur tentang ‘karakter’ seni Islam.”

Ketiadaan bukti tekstual tentang doktrin seni pada periode awal Islam telah menjadi hambatan serius untuk memahami perkembangan seni Islam pada periode itu dan menafsirkan maknanya. Fakta ini pada gilirannya telah mendorong pelbagai spekulasi tentang seni Islam pada zaman itu berikut maknanya. Spekulasi seputar seni Islam secara umum mengarah pada dua pendekatan utama yang berbeda; pendekatan esensialis dan pendekatan relativis. Pendekatan pertama tercermin dalam karya-karya yang mengklaim seni Islam sebagai seni yang khas dan berasal dari sumber aliran estetika tunggal. Pendekatan ini cenderung membatasi seni Islam pada kaligrafi, arabesque dan geometri sebagai bentuk-bentuk ekspresi seni Islam yang sah. Pendekatan ini direpresentasikan oleh dua corak esensialisme yang berbeda, yakni esensialisme-legalistik dan esensialisme-sufistik. Corak esensialisme-legalistik dapat dilihat antara lain dalam karya Ismail Raji al-Faruqi, Cultural Atlas of Islam, sementara corak esensialisme-sufistik dapat dilihat antara lain dalam karya Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality.

Al-Faruqi berpendapat bahwa seni Islam merupakan ekspresi estetik “yang tak terbatas”, sebagaimana termanifestasi dalam kaligrafi, arabesque dan geometri. Dengan merenungkan pola tak terbatas ini, benak orang yang mempersepsinya akan dialihkan kepada Tuhan, dan seni dapat memperkuat keyakinan religius. Jadi, seni Islam bertujuan mengajar dan memperkuat persepsi tentang transendensi Tuhan dalam diri manusia. Menurut al-Faruqi, keseluruhan ekspresi seni Islam memiliki enam karakteristik utama, yaitu abtraksi, struktur modular, kombinasi berurutan, repetisi tingkat tinggi, dinamis dan detail yang rumit. Al-Faruqi mengklaim bahwa sumber inspirasi utama seni Islam adalah al-Qur’an. Al-Qur’an mempengaruhi seni sebagaimana aspek lain dalam kebudayaan Islam. Al-Qur’an telah memberikan pesan yang diekspresikan secara estetis dan cara mengekspresikannya, seperti tampak dalam enam karakteristik bentuk sastranya. Bahkan, al-Qur’an menyediakan ekspresi dan uraiannya sendiri sebagai materi subjek terpenting untuk ikonografi seni. Sehingga, tidak salah jika seni Islam juga disebut dengan “seni al-Qur’an.” Dalam tulisan lain, al-Faruqi mengaskan kembali premis ini dengan ungkapan sebagai berikut:

“Budaya Islam, sebenarnya, adalah “budaya Al-Qur’an”; karena definisinya, strukturnya, tujuannya, dan metodenya untuk pelaksanaan tujuan tersebut semuanya berasal dari serangkaian wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad pada abad ketujuh dari era umum… Sebagaimana aspek-aspek budaya Islam ini sepatutnya dilihat sebagai Qur’ani dalam dasar dan motivasi, dalam implementasi dan tujuan, seni dalam peradaban Islam juga harus dipandang sebagai ungkapan estetis dari derivasi dan realisasi serupa. Ya, seni Islam memang seni Al-Qur’an.”

Senada dengan al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr mengistimewakan kaligrafi, arabes dan geometri sebagai bentuk-bentuk pencapaian tertinggi seni Islam. Namun, berbeda dari al-Faruqi yang cenderung menegasikan peranan sufi dalam perkembangan seni Islam, Nasr justru menghubungkan kehadiran seni dalam peradaban Islam dengan bentuk-bentuk mistisisme dan spiritualitas yang tumbuh dalam tradisi keagamaan umat Islam, khususnya tasawuf. Nasr menghubungkan kaligrafi, arabes dan khususnya geometri dengan gagasan sufi mengenai hubungan antara “Yang Satu” dan “yang banyak”. Menggambarkan superioritas sufisme sebagai sumber utama doktrin seni dalam Islam, Nasr menulis sebagai berikut:

“Tak seorangpun dapat menemukan asal-usul seni Islam dalam ilmu hukum dan teologi… Adalah dalam dimensi batin tradisi Islam seseorang harus mencari asal-usul seni Islam dan kekuatan yang telah menciptakan dan mempertahankannya selama berabad-abad… Seni Islam adalah buah spiritualitas Islam dari sudut pandang asal-muasalnya dan sebagai penyokong, pelengkap dan pendukung kehidupan spiritual dari sudut pandang realisasi atau kepulangan ke Asal… Seni Islam adalah hasil dari manifestasi Yang Satu pada yang beragam.”

Gagasan di atas memperlihatkan klaim utama Nasr bahwa seni Islam pada dasarnya berakar pada tradisi sufisme. Argumennya adalah bahwa sufisme mewakili inti Islam. Sufisme menekankan yang spiritual, mengorbankan yang materil, memenangkan yang esoteris, mengalahkan yang eksoteris dan mengutamakan kehidupan zuhud daripada kenikmatan duniawi. Menurut Robert Hillenbrand, hasrat untuk tidak mengutamakan dunia ini dapat dipandang sebagai hal yang menggerakkan “kemampuan Islam untuk menciptakan bentuk-bentuk geometris.” Kutipan dari Hillenbrand ini tidak lantas menunjukkan bahwa dia berada dalam haluan mazhab esoteris dalam tradisi estetika Islam. Sebaliknya, Hillenbrand justru merepresentasikan salah satu pendekatan relativis dalam kajian seni Islam. Dalam Islamic Art and Architecture, Hillenbrand mengisyaratkan bahwa pemeriksaan cermat terhadap pelbagai mazhab dan jenis-jenis seni Islam dalam konteks historis merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh setiap pengkaji seni Islam supaya tidak terjebak dalam generalisasi yang serampangan. Bahkan salah satu motivasi yang menggerakkan Hillenbrand untuk menulis Islamic Art and Architecture adalah dalam rangka membentangkan pelbagai kecenderungan artistik seni Islam dalam konteks kesejarahannya. Dalam bagian pengantar bukunya Hillenbrand menyatakan, “A secondary aim has been to sot the various schools and types of Islamic art in a reasonably full historical context so that the images are not, so to speak, trapped in limbo.”

Dalam buku itu, Hillenbrand menjelaskan beberapa tema tentang bagaimana arsitektur ditafsirkan dan menolak kecenderungan generalisasi dalam memaknai seni Islam. Dengan kata lain, generalisasi terhadap seni Islam sebagaimana tercermin dalam pendekatan esensialis tidak cukup membantu untuk menjelaskan kompleksitas seni Islam berikut makna yang terkandung di dalamnya. Dalam tulisan lain, Hillenbrand justru menegaskan bahwa seni Islam ditandai oleh ambiguitas:

“Salah satu common denominator akhir—meskipun bukan berarti seluruhnya—arsitektur publik yang ambisius di dunia Islam adalah kegemaran pada ilusi dan ambiguitas. Ini menemukan ekspresi yang paling bervariasi dalam bentuk dan dekorasi… Ambiguitas dan ilusionisme diadopsi lebih jauh lagi di bidang dekorasi… Tidak sulit untuk ‘membangun’ hubungan yang menggoda antara cara melihat arsitektur ini dan penolakan terhadap realitas biasa oleh Mistikus Islam. Dalam kedua kasus itu, baju metafora membuatnya kurang material. Namun demikian, hubungan semacam itu tidak mudah dikenali dan tanpa bukti lebih lanjut, hanya dogmatisme yang menyatakan bahwa hal itu ada. Kecenderungan Muslim pada ornamen mungkin juga didasarkan pada kecintaan pada warna atau tekstur atau desain.”

Penekanan pada ambiguitas dalam seni Islam memperoleh resonansi yang lebih kuat dalam tulisan Oleg Grabar, sejarahwan seni dan arsitektur Islam terkemuka kelahiran Prancis yang paling berpengaruh dalam kajian seni Islam. Menurut Grabar, ciri utama seni dan arsitektur Islam adalah ambiguitas dan fleksibilitas, yang dihasilkan dari “keutamaan kehidupan manusia dan kebutuhan sosial.” Dalam karyanya The Formation of Islamic Art, Grabar menyatakan sebagai berikut:

“… interpretasi konstan atas monumen-monumen tersebut adalah ambiguitas atau ambivalensi makna, seolah-olah setiap bentuk yang terlihat tidak memiliki makna di luar dirinya sendiri, atau makna bentuk itu diberikan melalui beberapa cara lain. Perumahan negara, ribat, dan serambi kafilah (caravan-serai) memiliki susunan formal yang sama; desain dan teknik dekoratif yang sama digunakan untuk bangunan yang sama sekali berbeda. Dalam kasus ini, perbedaan tujuan dan penggunaan tidak ditentukan oleh monumen, namun oleh kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Keutamaan kehidupan manusia (human life) dan kebutuhan sosial (social needs) ini juga menjelaskan mengapa, dari masjid sampai plesteran atau ornamen, hampir semua kelompok monumen-monumen Islam berwatak fleksibel, mudah disesuaikan dengan berbagai keperluan. Karakteristik ini juga tetap bertahan selama berabad-abad dan, misalnya, muka bangunan megah (magnificent facades) yang menghiasi begitu banyak bangunan Muslim sejak abad ke-12 hampir tidak pernah menunjukkan apakah bangunan itu adalah masjid atau karavan. Seiring dengan ambiguitas dan fleksibilitas, seni Islam awal ditandai dengan penghindaran simbol secara mufakat. Kontras dengan perkembangan Kristen abad pertengahan yang sangat mencolok.”

Kutipan di atas pada dasarnya menggambarkan pendirian Grabar bahwa seni Islam tidak dapat dimaknai secara monolitik. Dalam karya lain, The Mediation of Ornament, Grabar mengomentari beberapa pemikir seperti Maurits Escher dan Owen Jones yang terpesona oleh geometri sensual Alhambra dan menemukan makna esoteris di dalamnya, yang menurut Grabar belum tentu dipikirkan juga oleh “para Muslim pembuat gedung dan pengguna istana Alhambra.” Menurut Oliver Leaman, salah satu aspek yang sangat mengesankan dari karya Grabar tentang seni Islam adalah kehati-hatiannya, keengganannya membuat generalisasi dan sikap yang amat empiris terhadap fakta-fakta itu sendiri. Dia cenderung membatasi pada artefak-artefak sambil menghubungkannya dengan konteks sejarah dan metode produksi, serta menolak setiap tujuan yang lebih luas. Inilah koreksi yang sangat baik terhadap apa yang disebutnya sebagai “dosa orientalis dalam membuat generalisasi serampangan.” Grabar pada dasarnya dapat dengan mudah berspekulasi tentang keberadaan ide-ide tertentu yang mungkin berperan dalam artefak-artefak seni Islam sehingga ide-ide tersebut dangat menggoda untuk digunakan sebagai cara untuk menyelami seni Islam. Namun, menurutnya, kita tidak memiliki secuil bukti yang menunjukkan bahwa ide-ide tersebut sungguh penting baik bagi seniman ataupun bagi penikmat seni. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa ide-ide tersebut adalah hal yang benar-benar berarti bagi mereka. Banyak sekali orang yang berhujah bahwa seni Islam mesti tercipta melalui ide-ide yang khas Islam, dan kehati-hatian Grabar dalam hal ini, menurut Leaman, sangat tepat.

Sebagai konsekuensi dari pendekatan historis-materialis yang digunakannya, Grabar cenderung menghindari interpretasi abstrak terhadap seni Islam dan menegaskan bahwa seni Islam pada dasarnya tidak dibentuk oleh ide-ide yang khas Islam, melainkan oleh faktor-faktor sejarah dan budaya yang mengitari proses pembentukannya pada masa silam. Grabar bahkan menegaskan bahwa penciptaan seni Islam bukanlah hasil doktrin artistik atau estetik yang diilhami oleh agama baru atau bahkan oleh konsekuensi sosial atau konsekuensi lain dari pesan nubuat, namun merupakan upaya mentransformasi tradisi sebelumnya yang sesuai dengan identitas komunitas Muslim yang belum dirumuskan sebelumnya dan kadang-kadang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhannya atau mengumumkan kehadirannya. Seni Islam pada dasarnya tidak lebih daripada kesinambungan logis dari warisan seni sebelumnya atau seni kontemporer pada masanya. Menurut Grabar, jika seseorang mempertimbangkan sejumlah monumen yang tersisa dari tiga abad pertama sejarah Islam, kesimpulan pertama adalah bahwa, pada level teknik dan bentuk “fonetik” yang paling sederhana, hampir tidak ada sesuatu yang baru dalam seni Islam. Secara praktis, setiap motif dekoratif yang dipertimbangkan secara terpisah, setiap unit perencanaan, setiap detail konstruksi, dan setiap jenis objek memiliki purwarupa langsung (direct prototype) pada tradisi artistik sebelumnya di Timur Dekat dan Mediterania. Bahkan ketika fitur biasa seperti kolam di halaman depan Khirbat al-Mafjar tidak memiliki model yang diketahui, keberadaan model awal semacam itu dapat diasumsikan, setidaknya secara hipotetis. Modifikasi dalam bentuk lengkungan (arches), seperti di Cordoba atau di masjid Ibn Tulun, dan bahkan eksperimen dengan kubah (vaults) yang ditemukan di Iran timur laut (northeastern Iran) tampaknya tidak lebih dari sekedar perubahan evolusioner. Mereka bisa saja terjadi di lingkungan budaya manapun yang telah menghabiskan banyak dana dan energi seperti para pangeran Muslim awal. Dalam kasus pahatan dan mosaik lantai, para patron Umayyah secara sadar mencari model kuno (archaizing models) dari masa lalu Mediterania. Pada level ini, monumen seni Islam awal sepenuhnya merupakan rangkaian (succession) dari seni kerajaan-kerajaan besar Roma, Bizantium awal, dan Iran.

Meskipun demikian, bukan berarti Grabar mengabaikan fakta bahwa dalam seni Islam terdapat bentuk-bentuk baru yang tidak pernah ada pada masa sebelumnya. Menurut Grabar, meskipun seni Islam merupakan kesinambungan dari seni sebelumnya, terdapat beberapa pengecualian. Misalnya, dalam teknik, seni keramik yang sama sekali baru telah muncul, dan dalam dekorasi, tulisan Arab muncul sebagai perangkat ornamental dan ikonografik utama. Dengan kata lain, sementara sebagian besar elemen paling sederhana dalam kosa kata seni Islam awal hanyalah kelanjutan dari tradisi yang lebih tua (continuations of older traditions), beberapa pengecualian yang dapat diidentifikasi merupakan aspek penting keunikan seni Islam. Grabar mengemukakan bahwa keaslian seni dunia Islam terletak pada maknanya. Salah satu dimensi orisinalitas ini adalah metode komposisi dan distribusi:

“Dari tingkat bentuk dan teknik sederhana ini, kita bisa beralih ke tingkat makna yang jauh lebih kompleks, yakni tingkat keaslian (originality) dan keunikan (uniqueness) seni Islam. Dari beberapa aspek keaslian ini, yang pertama adalah aspek komposisional dan distribusional. Jadi, meskipun tidak ada elemen sederhana dari hypostyle masjid yang asli, komposisi bangunan yang telah selesai berbeda dari sebelumnya. Dalam dekorasi, karakteristik distribusi baru bentuk-bentuk memperoleh dorongan khusus; representasi makhluk hidup (living things) menurun, sementara unsur tanaman (vegetal) dan geometris mendominasi. Oleh karena itu, distribusi baru tidak hanya mencerminkan ukuran kerajaan baru namun memiliki aturan dan arahan. Makna konkret dapat dikaitkan dengan beberapa bentuk. Tanpa perubahan bentuk yang signifikan, menara (towers) menjadi menara masjid (minarets), relung (niches) menjadi mihrab (mihrabs), dan konsentrasi lorong (aisles) di satu sisi bangunan menunjukkan kiblat (qiblah), kapan pun fitur ini ditemukan di masjid. Prasasti Arab (Arabic inscriptions)—apakah sebagian tidak terlihat seperti di bagian atas dekorasi mosaik Dome of the Rock, atau dapat diakses secara langsung seperti muka bangunan mausoleum di Tim, mihrab masjid Cordoba, atau pelat dari timur laut Iran—menjadi elemen ikonografi kongkrit yang mendefinisikan signifikansi spesifik suatu monumen. Dengan demikian, sejumlah fitur formal memperoleh kekuatan penanda Islam yang sangat tepat, dan semuanya mempertahankan maknanya selama berabad-abad pertumbuhan seni Islam.”

Menurut Grabar, keaslian dan keunikan seni Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi politis persentuhan Islam dengan agama sebelumnya, terutama Kristen. Alasan terpenting dari kekhasan seni Islam adalah penolakan sadar (conscious rejection) budaya baru (Islam) terhadap kebiasaan dan praktik tradisi yang digantikannya, terutama Kristen Mediterania. Ini bukan berarti bahwa dunia Muslim menolak bentuk artistik mereka, melainkan justru menolak untuk memanfaatkannya dengan cara yang sama seperti mereka.

Kendati demikian, Grabar menekankan bahwa penghindaran terhadap citra figuratif dan ciri ikonoklastik dalam seni Islam pada dasarnya tidak bersifat universal. Seperti halnya organisme hidup, bagaimanapun, dunia Islam bukanlah entitas yang beku dan selesai, bahkan sebelum tahun 1000 M, tema sekunder lain telah muncul. Di Iran timur laut, Irak, dan Mesir, representasi makhluk hidup (living beings) menjadi lebih umum dalam seni keramik urban dan bahkan dalam dekorasi arsitektural. Heterodoksi dan mistisisme sosial menjalar di mana-mana. Menurut Grabar, banyak hal baru yang disonan ini dapat dianggap sebagai keganjilan kecil (minor peculiarities) dalam sebuah klasisisme yang telah mapan (established classicism). Namun gejala tersebut meramalkan dan mempersiapkan perubahan besar yang menandai seni Islam dari pertengahan abad kesebelas dan seterusnya. Hanya dari pengetahuan tentang apa yang terjadi, maka ciri-ciri ini dapat diidentifikasi dan diisolasi. Karena dalam seni, bertentangan dengan kehidupan, sifat perubahan yang tidak dapat dihindari hanya dapat ditemukan dan dijelaskan setelah hal itu terjadi.

(Bersambung)