Seperti sudah bisa diprediksi bahwa Pilkada 27 Juni 2018 di Kabupaten Tangerang dan Lebak serta Kota Tangerang menyajikan drama duel antara calon tunggal versus kotak kosong.
Tiga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 di Provinsi Banten akan berlangsung antara calon tunggal melawan kotak kosong. Kondisi itu terjadi dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Tangerang dan Pemilihan Bupati (Pilbup) di Kabupaten Tangerang serta Kabupaten Lebak.
Secara umum, fenomena calon tunggal memang tidak terjadi di Banten saja. Tahun 2018 ini terdapat 19 Pilkada yang hanya menyajikan calon tunggal. Selain di Banten, calon tunggal juga muncul di Aceh (Pidie Jaya), Jambi (Kerinci), Sumatera Selatan (Kota Palembang dan Prabumilih), Jawa Barat (Purwakarta dan Banjar), Jawa Tengah (Karanganyar), Kalimantan Selatan (Tapin), Sulawesi Utara (Minahasa Tenggara), Sulawesi Selatan (Sinjai), Sulawesi Barat (Mamasa), serta Papua (Puncak).
Akan tetapi, fenomena calon tunggal di Provinsi Banten memang mencolok dan dominan. Sebab tiga calon tunggal dalam Pilkada serentak di Banten jumlahnya mencapai 75 persen. Ya, tiga dari empat Pilkada di Banten pada 2018 ini.
Satu-satunya wilayah di Banten yang tidak menghadirkan calon tunggal dalam Pilkada 2018 adalah Kota Serang. Seluruh calon tunggal di Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kabupaten Lebak merupakan petahana yang baru menjabat selama satu periode.
Di Kabupaten Tangerang, petahana Ahmad Zaki Iskandar dan Mad Romly yang mempunyai jargon Tangerang Gemilang menjadi calon tunggal. Mereka didukung koalisi 12 partai yang ada di Kabupaten Tangerang yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, Demokrat, Hanura, PKS, PPP, PKB, Gerindra, PKPI, PAN dan PBB.
Partai politik bersatu. Seluruh pemilik kursi legislatif setuju. Mengusung satu pasang nama untuk didukung sebagai kandidat dalam Pilkada. Para pemegang otoritas partai di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan, Lebak tak memiliki cukup alasan dan amunisi. Untuk bisa menyediakan lebih dari satu opsi, bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerahnya.
Kekuasaan menjanjikan kenikmatan. Pemiliknya dapat dengan mudah menggunakan akses sosial, politik, ekonomi, juga budaya. Status sosialnya meningkat, tampil gagah dalam pergaulan politik, percaya diri dalam kompetisi ekonomi, dan dominan dalam warna kebudayaan.
Metafora dalam kenduri, para penguasa mendapat meja utama. Pada rapat pembahasan kebijakan, pendapat mereka menjadi rujukan. Di tengah persaingan ekonomi, orang ini mendapat preferensi. Dalam berpakaian dan berpembawaan, yang melekat padanya menjadi pembicaraan.
Keberlangsungan hidup ditentukan oleh banyak hal. Karisma pemimpin, kematangan organisasi, keandalan sistem kaderisasi, dan kemampuan dalam eksploitasi, mobilisasi dan distribusi sumberdaya.
Pada konteks Pilkada, sikap politik partai yang tidak berani berbeda lebih banyak dipengaruhi oleh variabel yang disebut paling akhir. Meski secara ideologi nyata berbeda, pada Pilkada di tingkat kabupaten/kota, kepentingan taktis memungkinkan partai-partai mengambil sikap yang sama mendukung petahana.
Langkah zig-zag partai yang semarak pada Pilkada 2018 boleh saja disebut sebagai pragmatisme cara lama. Sekadar mencari aman demi kepentingan partai dan keuntungan para pegiatnya. Meski justifikasi semacam itu tak sepenuhnya keliru, langkah pragmatis tidak serta-merta oportunis. Dalam banyak hal, langkah taktis diperlukan dalam proses menuju pencapaian tujuan strategis.
Pragmatisme tidak sama dengan oportunisme. Jika yang kedua mewakili avonturisme maka yang pertama merupakan fleksibilitas yang diperlukan dalam perjuangan mewujudkan idealitas politik. Rekayasa lingkungan yang lazim dilakukan. Kelenturan yang dibutuhkan untuk meredam serangan dan memberi ruang bagi persemaian gagasan-gagasan ideologis.
Pola pikir pragmatis tidak hanya menjangkiti masyarakat kelas bawah yang memang secara kemampuan ekonomi berada di bawah rata-rata. Namun, pola pikir tersebut juga menjangkiti kelas elite yang nyatanya secara ekonomi dan pendidikan lebih mapan. Oleh karena itu, tidak adil rasanya jika istilah pragmatis hanya dilabelkan pada masyarakat kelas bawah, padahal realitasnya ia menjangkiti seluruh level masyarakat termasuk tokoh agama, aktivis, hingga kaum cendekia.
Bagi kelompok ini, maka dalam menjatuhkan pilihan politiknya akan ditentukan oleh seberapa besar “imbalan” yang mereka dapatkan atau akibat apa yang akan ditimbulkan secara praktis. Imbalan yang dimaksud, tidak semata-mata pada uang atau pun barang, namun juga pada jabatan dan status tertentu. Inilah yang dikatakan bahwa pragmatisme tidak hanya terjadi pada kelas masyarakat kelas bawah, tapi juga pada masyarakat kelas atas. Hanya saja, pragmatisme keduanya memiliki level yang berbeda. Jika pada masyarakat kelas bawah, wujud dari pragmatisme ditunjukkan dalam bentuk uang dan barang, maka pragmatisme pada kelas elite bisa saja berupa uang, barang dan jabatan.
Untuk itu, tidak hanya penyelenggara, peserta Pilkada juga harus menjunjung tinggi asas sportivitas dalam berkompetisi.
Kontestasi pemilihan bupati /walikota pertahana versus kotak kosong di tanah Banten idealnya harus berupaya mewujudkan Pilkada bersih. Termasuk juga dengan menahan tim suksesnya berbuat curang dan melakukan kampanye hitam selama tahapan Pilkada. Kontestan maupun tim sukses harus lebih menonjolkan adu ide dan program.
Bukan adu ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan politik uang. Pemilih juga jangan gampang tergiur menerima sesuatu dari kontestan pemilihan. Pola pikir pragmatis mengambil apa yang diberikan calon kepala daerah namun tidak menjamin pemberian dukungan di bilik suara itu harus diubah. Segala sesuatu dari calon yang mengharapkan imbalan suara adalah politik uang. UU No. 10/2016 sebagaimana perubahan UU No.8/2015 tentang Pilkada jelas mengatur sanksi pidana bagi pihak manapun yang menjalankan praktik politik uang.
Saatnya kita sebagai pemilih untuk menjadi king maker untuk implementasi pilkada yang jujur adil bersih dalam mencari pemimpin daerah kita yang kapabel dan legitimed. ***
Oleh: Budi Usman, Aktivis Tangerang Utara