Beranda Opini

Isu Politik Dinasti, Relevankah?

Isu Politik Dinasti, Relevankah?
Foto: Mohalli Ahmad, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kebijakan Publik Universitas Nasional

TANGERANG, Pelitabanten.com – Isu politik dinasti kembali disembur jelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten 2017 mendatang. Awalnya, isu ini hanya sebatas obrolan biasa sebagian aktivis yang peduli terhadap moralitas demokrasi. Namun belakangan,ada kelompok yang berupaya massif menggerakkan isu tersebut dan memanfaatkannya sebagai komoditas politik.

Melacak siapa kelompok di balik isu itu tidaklah sulit. Pergerakan mereka di dunia maya, baik lewat media sosial maupun media online, gampang diidentifikasi. Pola kerjanya pun sama, yakni: membatasi narasi politik dinasti hanya pada satu person (calon) dan mengeksklusi person lain padahal masih satu bagian.

Untuk membuktikannya bisa kita cermati perkembangan isu dalam beberapa minggu terakhir. Tepatnya, setelah calon dari partai Demokrat Wahidin Halim (WH) memilih Andika Hazrumy sebagai wakilnya. Andika yang merupakan anak pertama Ratu Atut Chosiyah telah lama diketahui publik bagian dari dinasti. Tak ada satu pun yang meragukan fakta ini.

Masalah kemudian muncul ketika hujatan bahkan makian atas pilihan WH dikampanyekan berlebihan. Disebutlah WH sosok oportunis, hipokrit, pura-pura berjuang untuk rakyat dan sebagainya. Hujatan itu tidak saja menunjukkan mereka tidak netral membuat penilaian. Lebih dari itu, mereka menyembunyikan agenda untuk menggiring opini publik.

Setidaknya ada dua agenda. Pertama, mereka ingin mengesankan bahwa hanya Andika satu-satunya calon bagian dari politik dinasti. Dengan begitu, mereka berharap publik hanya membenci Andika, bukan orang lain, betapa pun orang itu masih satu trah atau berlumur lumpur dinasti. Ujungnya, WH yang telah memilih Andika akan sulit mendapat simpati.

Kedua, dan ini tujuan paling utama, mereka ingin membersihkan calon di luar Andika dari stempel dinasti. Meski pada dasarnya calon tersebut adalah bagian dari dinasti, atau menjalankan praktik politik dinasti, mereka ingin menyucikannya. Mereka berupaya membangun kesan: calon lain datang dari langit dengan gelar tokoh perubahan, tokoh anti korupsi, anti dinasti.

Sebut saja calon seperti Rano Karno, TB Haerul Jaman, Taufik Nuriman dan Dimyati Natakusumah. Sederet nama ini bukan tokoh baru di Banten. Mustahil memisahkan mereka dari term politik dinasti. Mereka (juga) pelaku, bagian atau salah satu yang melakukan praktik politik dinasti.

Rano misalnya. Sebelum jadi gubernur ia adalah wakil gubernur yang pada Pilkada 2011 maju mendampingi Atut. Dialah yang ikut berjuang memenangkan Pilkada. Dia pula yang konon diduga bersedia menerima suap 1,2 M untuk melanggengkan kekuasaan dinasti. Dan yang patut dicatat, selama jadi wakil  gubernur berlanjut ke gubernur, tak terlihat komitmen Rano berkolaborasi dengan penegak hukum mengungkap korupsi.

Begitu juga Tb Haerul Jaman. Walikota Serang yang berniat maju jadi cawagub ini masih satu darah dengan Atut. Ia juga keturunan Chasan Sohib, adik Atut beda ibu. Belakangan, ia dicitrakan bukan bagian dari dinasti bahkan melawan dinasti. Padahal jangankan dicitrakan, mengaku sekalipun sebagai bukan bagian dari dinasti tetap saja dicap “dinasti”.

Hal sama juga terjadi pada Taufik Nuriman dan Dimyati. Nuriman sukses menduduki jabatan Bupati Serang kali kedua setelah berpasangan dengan Ratu Tatu Chasanah. Di sini peran kekuatan keluarga Chasan Sohib tak dapat dikesampingkan. Sementara, Dimyati baru saja berhasil menjadikan istrinya Irna Narulita sebagai Bupati Pandeglang.

Dalam matra realitas, berdasarkan fakta di atas, maka sebenarnya tidak relevan lagi bicara politik dinasti di Pilgub Banten. Hampir semua calon masuk dalam frame politik dinasti. Asumsinya, ketika kita persoalkan politik dinasti sesungguhnya kita sedang menerapkan paradigma moral tinggi tentang apa yang disebut “substantive democracy”.

Paradigma ini berangkat dari anggapan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung akan melahirkan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif jika dibarengi oleh perilaku demokrasi (democratic behaviour). Perilaku itu berlangsung baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi maupun masyarakat sendiri (William Case, 2002). Termasuk di sini ialah calon kepala daerah.

Kita sangat memimpikan hadirnya calon kepala daerah berintegritas, kapabel, juga teruji komitmennya buat rakyat. Kita juga berharap pemilih Banten dapat menentukan pilihannya secara rasional. Namun di sisi lain, yang harus disadari adalah demokrasi kita saat ini masih terjerembap dalam persoalan klasik transisi demokrasi. Inilah yang membuat paradigma demokrasi substantif sukar digunakan.

Ambil contoh, partai politik masih mengutamakan orang dengan modal politik besar untuk menjadi calon kepala daerah. Akibatnya, calon yang muncul seringkali tak memenuhi standar ekspektasi—misal, bagian dari dinasti. Pertanyannya, apakah kita akan tetap memaksakan paradigma itu dan memberlakukannya pada satu person saja? Jelas bukan perlakuan fair dan demokratis.

Narasumber: Mohalli Ahmad (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kebijakan Publik Universitas Nasional)