Beranda Opini

Haji Mabrur Haji Mabur

Haji Mabrur Haji Mabur
Foto: Ilustrasi

Pelitabanten.com – Musim yang kita kenal di dunia ada empat musim, musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Sedangkan di indonesia sebagai negara yang beriklim tropis hanya memiliki dua musim, musim kemarau dan musim hujan, tapi ternyata ada satu musim lagi, namanya musim haji biasanya musim haji ini di bulan zulhijah. Antusiasme masyarakat dengan musim yang satu ini sangat luar biasa, bahkan di kampung saya ada yang hobi haji, setiap musim ini datang, ia berangkat ke Mekah untuk merayakan musim haji di sana. Sebagaimana yang kita ketahui untuk bisa merayakan setiap musim haji di Mekah harus orang orang yang berkantong tebal, karena biaya transportasinya cukup buat makan saya selama satu tahun.

Gelar haji akan disandangnya ketika pulang dari Mekah, yang awalnya bernama Ewok sepulang dari Mekah maka namanya menjadi haji Ewok. itu kalau Ewok berangkat hajinya baru sekali. Kalau haji Ewok ini kemudian di tahun depan berangkat haji lagi maka gelarnya bukan haji ewok lagi, tapi haji kuadrat Ewok. jika Ewok ini setiap musim haji tiba selama sepuluh tahun merayakan musim haji di Mekah sana gelarnya Haji tak terhingga Ewok, karena untuk menuliskan gelar hajinya nanti terlalu panjang jadi disingkat saja dengan haji tak terhingga.

Bagi orang kere seperti saya ini yang tidak memiliki kemampuan membiayai transportasi ke Mekah hanya bisa menabuh beduk dan bertakbiran di lapangan sambil menunggu dapat giliran pembagian daging kurban untuk di bikin sate bersama kawan sejawat. Tapi dalam hati kecil sebenarnya meneriakan la baik alla huma la baik la syari kalahu. Ka’bah nun jauh disana hanya terselip di hati kami yang berada di kampung yang dilingkari dengan kemelaratan, ka’bah kami tawafi dalam hati sambil melantunkan syair syair kerinduan yang mungkin saja sebenarnya kerinduan kami disini berlipat lipat. Semoga saja takbir dan tahmid kami disini juga di angkut oleh para malaikat kelangit ke tujuh, toh gusti Allah tidak pernah di kurung dengan ruang dan waktu, hanya saja bedanya kami yang kere ini tidak mendapatkan gelar haji.

Haji adalah napak tilas perjalanan keluarga Ibrahim alihi salam, dari mulai tawaf, tahalul, berdiam diri di padang arafah, sampai ke sa’i adalah lelakon yang pernah di lakukan oleh keluarga Ibrahim ini. perjalanan agung dimana kita seakan akan menjadi keluarga Ibrahim yang sedang menjalani rentetan perintah Allah. Alangkah mulianya orang orang yang sudah melakukan napak tilas perjalanan bapak monoteis ini, sungguh beruntung bagi mereka yang diberikan kesempatan untuk melakoni perjuangan keluarga Ibrahim, karena inilah salah satu puncak dari ibadah ibadah lainnya.

Melakoni perjalanan keluarga Ibrahim adalah input sepiritual, menyerap inti inti dari ajaran tauhid yang di bawa oleh Ibrahim, mengantongi butir butir ke taqwaan yang berseliwiran di sepanjang jalan ritual haji, untuk di bawanya pulang ke kampung halamannya dan di bagi bagikan butiran butiran taqwa ke penduduk kampung yang di tinggalkannya sebagai rahmatan lil ‘alamin dari Allah yang Maha Rahman Rahim. imbalan untuk para penziarah ini adalah mabrur, sebuah pahala yang semua umat muslim sangat mendamba dambakannya termasuk saya yang belum kesampaian atau memang tidak akan pernah mencapai tahapan mabrur.

Mendiang abah saya menceritakan bahwa kakek buyut saya dulu ketika berangkat untuk menunaikan ibadah haji bekal yang tidak boleh tertinggal adalah kain kafan, karena perjalanan yang akan di tempuh membutuhkan waktu berbulan bulan melalui jalur laut, tidak sedikit dari mereka yang meninggal ketika dalam perjalanan haji. Kain kafan adalah kain kesejatian, hakekat pakian berpulang kembali ke pangkuanNya, bukan hanya mempersiapkan diri menjadi tamu Allah di baitullah yang terletak di Mekah sana, bahkan ketika Allah memanggilnya untuk kembali mereka sudah mempersiapkan diri dengan membekali diri dengan kain ihram yang dibawa khusus jika Allah memangil.

Entah kebetulan atau tidak, saya melihatnya antara kain ihram dan kain kafan seperti saudara kembar, dari warna dan bentuknya hampir memiliki kesamaan, kain yang hanya beberapa meter itu di gunakan hanya sekedar untuk menutupi aurat saja, tidak ada aksesioris yang menempel di tubuh para penziarah, begitu juga dengan para jenazah ini. apakah ini bermaksud pelucutan keduniawian? Apakah Allah sedang mengajarkan kepada para penziarah ini tentang kezuhudan? karena perjalanan ritual selama ibadah haji berlangsung merupakan serangkaian jihad fi sabilillah, jika memang demikian seharusnya output dari ritual haji adalah juhud.

Di kampung saya ada istilah haji mabur (mabur kalau bahasa Indonesia adalah terbang), biasanya ini julukan terhadap seseorang yang sudah melakukan perjalanan haji namun akhlak dan prilakunya sama sekali tidak ada perbedaan yang mencolok. Artinya sebelum dan sesudah menjalankan ritual haji ini tidak terlihat adanya perubahan dalam kehidupan di tengah tengah masyarakat, bahkan tidak jarang setelah mendapatkan panggilan dengan ‘pak Haji’ tambah besar kepala. Ada sebuah kejadian dimana pada saat itu saya di tugaskan untuk memberikan undangan kepada salah satu orang yang sudah beberapa kali menunaikan ibadah haji, ia menyatakan bahwa undangan tersebut bukan di tujukan untuk dirinya, padahal saya sudah memastikan bahwa nama, alamat, nama desa ditujukan kepadanya, dan memang hanya ia yang memiliki nama yang tertulis di undangan tersebut, selainnya tidak ada yang memiliki nama selain dia dilingkungannya. Usut punya usut kesalahannya adalah karena tidak tertuliskan haji di undangan tersebut.

Entahlah gelar haji ini sebenarnya gelar keagamaan atau yang dinstrumentasikan untuk kepentingan strata sosial, aksesoris kultural atau gelar kebudayaan nasional. Tapi yang jelas dari kejadian itu saya sedikit alergi dengan gelar haji, padahal sepengetahuan saya tentang ritual haji adalah serangkaian pelucutan keduniawian yang dilakaukan secara frontal, radikal, dan habis habisan. Pakaian adalah identitas diri, kita bisa melihat seseorang berprofesi sebagai apa karena melihat pakaiannya, ia sebagai pegawai mini market kita bisa mengenalinya dari pakaian seragam yang ia gunakan, pegawai negeri sipil kita bisa lihat dari pakaiannya yang ia kenakan ketika berangkat bekerja. Tapi semuanya itu harus di lepas, diploroti ketika menggunakan kain ihram, tidak ada lagi identitas diri. Jabatan, kepala suku, ketua majlis ta’lim, ketua RT dan semua bentuk bentuk keduiawian harus di tanggalkan ketika kain ihram melilit di tubuhnya. Saya tidak tau apakah pendapat saya ini benar atau salah, karena memang saya belum pernah merasakan perjalanan suci ini sudah berani berbicara haji.

Kemewahan fasilitas yang didapatkan oleh para penziarah haji ini tentunya akan berbeda dengan kakek buyut yang di ceritan oleh mendiang abah saya, berbulan bulan di atas kapal laut dengan berbagai penderitaan yang dialami jelas merupakan sebuah penghayatan pesikologis tersendiri selama melakukan perjalanan ibadah haji ini. mungkin ini juga mempangaruhi kualitas output yang menjadikan mereka lebih memahami bahwa rentetan ritual haji ini adalah merupakan perjalanan jihad yang sesungguhnya, dan juhud merupakan output yang harus didapatkannya sebagai refleksi dari kemambrurannya.

Haji ialah puncak dari serangkaian rentetan dari ibadah shalat,puasa dan zakat, dengan demikian haji seharusnya menjadikan para penziarahnya kembali kepada titik netral wilayah sepiritualitas transendensi, kembali kepada kesadaran seorang hamba dengan menjalankan semua perintahnya, laibaik allahuma labaik la syarikalah.. memenuhi panggilan sang Maha Agung dengan berbagai resiko selama menempuh perjalanan suci ini ,kembali kepada inti ajaran Ibrahim dan Muhammad yaitu me-ahad-kan Allah la syari kalahu.

Narasumber: Ubaidillah