Beranda Opini

Dehumanisasi Pendidikan

Dehumanisasi Pendidikan
Ilustrasi. ist

Pelitabanten.com – Di tengah carut-marutnya persoalan pendidikan kita, mulai dari polemik Full Day School hingga persoalan klasik: kesejahteraan guru (pengajar). Ada satu persoalan mendasar yang patut untuk direnungkan, yakni kultur para pengajar kita yang (masih) feodal. Tidak dipungkiri kultur semacam itu sudah mengakar di lingkungan sekolah, sejatinya telah menyebabkan “mangkraknya” IQ nasional (SDM peserta didik). Hal itu tidak hanya mengakibatkan kenihilan kreativitas peserta didik, melainkan juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Di mana peserta didik melihat sekolah seperti melihat bangunan penjara yang di dalamnya penuh dengan “siksaan” yang kompleks.

Aneh memang, karena seharusnya sebaliknya; sekolah menjadi tempat yang menyenangkan yang memungkinkan setiap peserta didik berangkat dan pulang dari sekolah dengan kegembiraan, bukan dengan derita, kemuraman, dan keluh kesah yang tak berkesudahan. Padahal, kemendikbud tengah mendayung pendidikan kita guna mewujudkan “pendidikan yang berdaya saing” dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Ada kontras di situ. Setidaknya, ada dua persoalan yang perlu diperhatikan:

Pertama, sistem. Kita sering kali mendengar kelah kesuh peserta didik yang dibebani “tanggung jawab” besar oleh aturan-aturan bersifat “kaku”, yang sejatinya telah melegitimasi budaya pendidikan. Kita tidak pernah sadar bahwa aturan yang mengharuskan peserta didik dituntut untuk berlomba-lomba mendapatkan nilai tinggi menyebabkan tekanan psikologi bagi peserta didik itu sendiri. Kenapa kita tidak memulai dengan budaya literasi: “pemahaman terhadap materi”. Di mana yang menjadi diskursus pendidikan adalah “pemahaman”, bukan pada hasil akhir pembelajaran yang ditentukan dengan nilai (skor). Hal seperti menyebabkan dekontekstualisasi. Sebab pembelajaran bersifat kuantitatif, nir-akal budi yang subtantif.

Kedua, metode yang usang. Metode proses belajar-mengajar yang usang dan melelahkan akibat seharian peserta didik “dipaksa” memeras otak supaya fit and proper dengan “suasana” kehendak guru (pengajar) di dalam mengimplementasikan proses belajar satu arah: di mana guru adalah pusat subjek yang mesti dipatuhi oleh peserta didik, tiada lain adalah bentuk arogansi dan feodalisme yang sudah mendarah-daging dalam kultur pendidikan kita. Seperti yang dikatakan Ivan Ilich dalam bukunya Deschooling Society: Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya. Guru bicara, siswa mendengarkan. Guru memilih dan memaksakan pilihannnya, siswa menuruti. Guru adalah subjek-proses belajar, siswa adalah objeknya. Dengan demikian, setiap yang diterangkan oleh guru (pengajar) harus ditaati, diingat, dan dihafal oleh peserta didik. Pendeknya, guru (pengajar) menjadi demagogi bukan pedagogi.

Proses belajar-mengajar semacam itulah yang menyebabkan “macetnya” daya kreativitas peserta didik. Padahal, menurut Ivan Illich, tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan peserta didik berpikir. Sehingga memercikan kritisisme, meningkatkan imajinasi, dan menumbuhkan daya kreativitas peserta didik itu sendiri. Guru (pengajar) harus berhenti melihat peserta didik sebagai objek yang pasif. Sebaliknya guru memposisikan peserta didik sebagai subjek di dalam praksis proses belajar mengajar. Upaya itu hanya dapat ditempuh dengan “kebaruan” dalam memahami tujuan pendidikan sebagimana diamanatkan konstitusi, yakni pendidikan diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Autokritik Pendidikan

Peserta didik harus memiliki nilai yang bagus. Telah menjadi diktum yang melekat di benak peserta didik. Sebab, nilai di ijazah telah melegitimasi hierarki status sosial di masyarakat. Sedangkan mendapatkan ijazah hanya dapat ditempuh dengan satu cara: sekolah. Ironisnya, sekolah turut menyumbang terjadinya dehumanisasi di era modernisme ini. Yaitu mereka yang bersekolah atau yang mempunyai ijazah adalah manusia modern: unggul, maju, dan terhormat. Sebaliknya, mereka yang tidak dapat menikmati duduk di bangku sekolah atau tidak memiliki ijazah adalah manusia tertinggal dan terbelakang. Pengertian pendidikan yang diimplementasikan dengan membangun sekolah secara ekstensif yang disponsori oleh negara telah disalahpahami.

Akibatnya, pendidikan telah bergeser dari nilai keluhurannya. Sebab, pendidikan hanya mencetak “watak kapitalistik dan konsumeristik” hanya akan membuat peserta didik terasing dari kehidupannya, dari kebudayaannya, yang pada akhirnya menyebabkan nirjati diri. Belum lagi adanya kelas sosial dalam sistem pendidikan yang diskriminatif: sekolah favorit dan non favorit. Keberadaan sistem semacam itu, bukan hanya membuka mata melainkan juga membuka kesadaran kita, bahwa sekolah adalah lahan bisnis di dalam bidang pendidikan yang dikapitalisasikan.

Inilah paradoks (sistem) pendidikan kita: kapitalisasi pendidikan. Setiap kita ucapkan kata “sekolah favorit” maka semiotik kita langsung bekerja merujuk pada kemewahan: mahal, tinggi mutu, dan menjamin masa depan. Sebaliknya, sekolah yang non favorit imajinasi kita langsung melukiskan ketidaklayakan: terbatas, bahkan serba tak layak. Karena dikotomi sistem seperti itu ditopang kekuatan materialisme. Akibatnya, praktik kotor mengepung pendidikan kita: jual beli “bangku sekolah” dan ijazah.

Oleh karena itu, perlu upaya untuk menyegarkan kembali (sistem) pendidikan kita, yakni autokritik bagi lembaga pendidikan atau mengundang siapa pun sebagai “komunitas gagasan” untuk menguji “kemampanan” sistem pendidikan kita. Tidak terkecuali saya! Yang dalam hal ini meminjam kritik Ivan Illich, karena masih relevan dengan persoalan pendidikan bangsa kita. Setidaknya ada tiga hal yang perlu di perhatikan: pertama, pendidikan harus memberikan kesempatan bagi semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat. Kedua, pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, dengan demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya. Ketiga, menjamin tersedianya masukan yang berkenaan dengan pendidikan (Deschooling Society :78-79).

Pada akhirnya, slogan “pendidikan yang berdaya saing” sebagai respon terhadap globalisasi tanpa menyelesaikan akar persoalan pendidikan adalah upaya yang latah. Di perlukan kesadaran bersama demi memajukan pendidikan guna kembali pada tujuannya yang luhur. Sekolah hanyalah alat untuk mencetak peserta didik merawat “akal sehat”, bukan menjadi hegemoni penentu nasib dengan cara melegitimasi hierarki status sosial dengan cara “menyakralkan” ijazah dan menjadikan sekolah sebagai “bisnis” semata. Tentu gagasan pikiran semacam ini tidak populer di Era Revolusi Industri 4.0 yang di gagas pemerintah. Akan tetapi, kita tidak ingin ada “penyelewengan” intelektual di dalam upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal seperti itu pada akhirnya bukan hanya akan mencederai sistem pendidikan kita, melainkan juga melukai hati rakyat. Ringkasnya, kita berharap pemerintah mengamalkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan yang humanisasi, bukan sebaliknya: dehumanisasi.

Ade Mulyono

Oleh: Ade Mulyono (aktif di sekolah feminisme. Penganut madzab humanis radikal)