
Pelitabanten.com – Akhir-akhir ini media sosial gempar. Berita masuknya kapal Cina ke perairan Natuna. Membuat tensi semakin mendidih. Hubungan antara negara panda dengan Indonesia. Sedikit mereda setelah Presiden Jokowi turun tangan.
Pemerintah menganggap, aktivitas nelayan yang dikawal kapal Coas Guard telah mengganggu kedaulatan Indonesia di laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun, respon pemerintah dinilai relatif lambat. Tidak responsif.
Menganggap ringan kehadiran nelayan Cina di wilayah Indonesia merupakan kesalahan besar. Apalagi wilayah tersebut mempunyai nilai yang tinggi. Baik secara geopolitik, maupun sumber daya alam. Konyolnya, Indonesia seolah memposisikan diri sebagai anak yang penurut.
Peristiwa itu mengingatkan kita akan kejadian sejarah. Ketika para penguasa Jawa mengusir Cina. Pada tahun 1289 tentara Mongol atas perintah Kubilai Khan mengirim utusan ke Jawa untuk tunduk. Saat itu Jawa berada di bawah kekuasaan-kerajaan Singasari. Kertanegara sebagai rajanya.
Merasa dirinya kuat, Kertanegara berani melawan Kubilai Khan. Ia merusak wajah Meng-Qi, utusan mongol, sebagai wujud penolakan. Menurut arkeolog George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu, Kertanegara merasa dirinya cukup kuat dan cukup jauh dari China untuk dapat bertahan terhadap permintaan Mongol.
Singasari merupakan kerajaan besar. Selain di Nusantara, Kertanegara bersekutu dengan Malaka dan Champa. Tujuannya untuk membendung tentara Mongol. Karena kerajaan-kerajaan yang berada di Asia Tenggara menganggap bangsa Tatar merupakan sebagai ancaman. Setelah pasukan Kubilai Khan itu berhasil menguasai Asia Timur.
Tujuan itu berhasil. Saat armada Mongol dalam pelayaran menuju Jawa, untuk balas dendam, mereka ditolak menurunkan jangkarnya untuk berlabuh di Champa. Padahal hanya berniat mengisi perbekalan. Menurut Slamet Munajat dalam Menuju Puncak Kemegahan, ekspedisi Mongol kali ini bukanlah hal yang mudah. Meski tentara berkudanya terkenal hebat.
Tujuan mereka untuk menguasai Jawa tidak berhasil. Karena medannya yang sulit. Iklim khatulistiwa yang panas dan terik. Di samping itu, Mongol bukanlah Negara maritim. Karenanya tidak pandai berlayar. Dari ribuan kapal yang diberangkatkan, hanya tersisa sebagian. Banyak yang tewas oleh serangan bajak laut maupun penyakit.
Di sisi lain, Jawa sedang dalam kemelut. Pemberontakan Jayakatwang atas Kertanegara tengah terjadi. Saat itu, para pembesar istana sedang menjalankan politik luar negeri. Mengirim Arca Amoghapasa kepada raja Melayu. Singasari pun kosong. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Jayakatwang, penguasa Kediri sekaligus besan Kertanegara. Akhirnya Singasari runtuh. Rajanya tewas di tangan Jayakatwang. Motifnya adalah balas dendam Jayakatwang atas kematian buyutnya, Kertajaya, yang disingkirkan oleh buyut Kertanegara, Ken Arok.
Kembali ke tentara Mongol. Sesampainya di Jawa pada tahun 1929, semuanya di luar ekspektasi. Rupanya Kertanegara telah tewas di tangan Jayakatwang. ‘Birahi’ balas dendam pasukan Kubilai Khan atas Raja Singasari pun kandas.
Kabar tentang datangnya pasukan Tiongkok terdengar oleh Raden Wijaya. Menantu Kertanegara yang berhasil lolos atas serbuan Jayakatwang. Kemudian pendiri Majapahit meminta bantuan mereka untuk Menyerang Kediri.
Sebagai gantinya, ia akan tunduk terhadap kekuasaan Kubilai Khan. Dua pasukan itu akhirnya berhasil menguasai Kediri. Jayakatwang tewas oleh tentara Mongol. Bagi mereka, siapa saja yang sedang berkuasa di Jawa harus bertanggung jawab. Sebagai pembalasan atas perbuatan raja sebelumnya.
Setelah kemenangan berhasil diraih, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit. Dengan dalih mengambil upeti untuk Kubilai Khan. Lalu meninggalkan sekutunnya, yang sedang berpesta merayakan kemenangan.
Syahdan. Alih-alih memberi upeti, ia malah menumpas orang-orang Mongol yang mengiringinya. Bersama sisa pasukan, raja pertama Majapahit itu menyerang perkemahan tentara Mongol, di Kediri. Memaksanya kembali ke kapal. Meninggalkan Jawa. Tanpa membawa harta rampasan yang telah di jarah sebelumnya.
Bagi Raden Wijaya, ketergantungan pada pendatang asing dari Cina harus dihentikan. Majapahit harus berdaulat. Tidak boleh ada campur tangan orang lain. Terlebih pihak asing. Karena menyangkut kewibawaan, juga harga diri.
Begitu pun Indonesia saat ini. Konflik di perairan Natuna harus segera diselesaikan. Sebagai penutup, penulis teringat kata-kata Tan Malaka: “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”.
Oleh: Wahyudin Arief
Penulis adalah Jamaah Majlis Opini Tangerang.