Beranda Opini

Bocah Angon

Tiada Hari Tanpa Berhala
Foto: Ubaidilah

Pelitabanten.com – Kalau mau omong omong negara rasanya harus jauh jauh hari saya mengibarkan bendara putih, sebagai bentuk saya menyerah, karena pengetahuan saya tentang negara itu apa? Bentuknya seperti apa? Maunya bagaimana? Saya harus mengatakan ore weruh untuk yang satu ini saya harus tau diri, lah wong saya tidak pernah mencalonkan diri menjadi RT, lurah, apalagi caleg mau banyak omong negara. Lebih baik saya memilih menjadi penonton pagelaran wayang kenegaraan yang jika saya perhatikan malah lebih banyak adegan kerengan (bertengkar), cakar cakaran, koalisi kesepakatan dagang, karena terlalu banyaknya adegan kerengan ini saya sampai tidak bisa membedakan mana pasukan pandawa mana golongan kurawa.

Untuk pagelaran wayang kenegaraan ini para ponokawan dan kiai Togog tidak di perkenankan untuk memasuki ikut bagian dalam adegan kerengan ini, kiai Petruk yang menyaksikan jegal jegalan ini sudah tidak tahan ingin segera mengambil alih dadi ratu supaya kondisinya kembali kondusif , namun keinginan kiai Petruk ini di larang oleh Ki Semar yang berposisi sebagai imamnya para punokawan ini. “sudahlah ngger biarkan saja mereka sikut sikutan sekarepe, nanti juga kalau sudah kelelahan berhenti sendiri” ujar Ki Semar kepada Kiai Petruk.

Perkataan Ki Semar tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan, karena Ki Semar melihat bahwa posisinya dan para murid muridnya sebagai pengayom pihak pandawa sudah di ambil alih oleh para politikus yang memiliki kepentingan sendiri, begitu juga kiai Togog yang dari tadi hanya melongo melihat majikannya tambah sinting. Pagelaran yang tidak begitu mengasikan membuat para ponokawan dan kiai Togog ini memilih nongkrong di pos kamling untuk bermain gaplek sambil menunggu para majikan kelelahan di pentas pagelaran wayang kenegaraan.

Para ponokawan dan kiai Togog saja melongo, apalagi saya yang dari segi pengetahuan, kearifan dan kebijaksanaan jauh di bawah mereka, mereka itu sebenarnya para dewa, namun karena kerendahan hati mereka bersedia menjadi pembantu sekaligus pengayom para majikannya. Sedangkan saya, hanya rakyat jelata yang masih suka mengunjungi kuburan untuk sekedar mencari ketenangan sambil mengintip sapa tau di kasih bocoran nomor togel, karena bagi saya berhadapan dengan pejabat negara lebih mengerikan di banding berhadapan dengan dedemit penghuni kuburuan.

Baca Juga:  Melacak Sejarah Pers Nasional Indonesia

Karena dari awal saya sudah menyerah, dengan wilayah begitu luas yang di sebut negara, saya ikutan nimbrung saja menemani kiai Togog yang sedang kewalahan menghadapi ponokawan yang sedang berasik ria bermain gaplek, sambil ngobrol ngalor ngidul asalkan bersama sama disepakati bahwa sikut sikutan itu tidak baik, kerengan tidak mendatangkan berkah dari langit, cakar cakaran hanya melukai satu dengan yang lainnya, minimal di ruang lingkup yang kecil dulu menerapkan kesepakatan ini, seperti dalam permainan gaplek ini, siapapun yang menang dan yang kalah dalam permainan gaplek, itu bukan tujuan, tujuannya adalah bersama sama merasakan sensasi ketika mirit kartu.

Daya angon ini sekarang yang memang di butuhkan, kemampuan untuk menjadi pengayom kepada siapapun untuk di ajak belajar tanpa seperti orang sedang mengajari, menjadi penengah di antara beribu ribu konflik tanpa mencari siapa biang korek dari penyebab konflik. Cah angon penekno blimbing kuwi bagaimanapun si bocah angon ini harus bergumul dengan licinnya pohon belimbing, untuk mendapatkan buah belimbing. Belimbing yang ia ambil dari perjuangannya memanjat pohohnya yang licin tidak ia masukan ke dalam plastik kresek dan kemudian ia bawa pulang, tapi ia bagi bagikan kepada orang lain sebagai penawaran derita dari berbagai bentuk derita yang sengaja diciptakan entah itu oleh sebuah sistem atau beberapa gelintir orang.

Tugasnya cah angon ini benar benar harus sibuk pikiran, tenaga dan waktunya memikirkan bagaimana supaya keramahan, kerukunan serta kebersamaan terjalin dalam lingkaran silaturahmi yang kuat, tidak mudah terkena yuwaswisu dari pihak pihak yang tidak menyukai kerukunan, dari mereka yang siap menjadikan silaturahmi menjadi tumbal dari sebuah kursi jabatan. Melemparkan anekdot anekdot kepada siapapun supaya tertawa, setidaknya dengan guyonan melupakan sejenak carut marutnya negara yang katanya tanah surga ini yang berefek ke setiap kampung.

“Tunggu saja sampai ratu adil datang” sambil melemparkan kartu balak enam Ki Semar berujar. Menurut Ki Semar nanti akan datang seorang pemimpin yang akan menjadi penyelamat, ia akan membawa keadilan, kesejahteraan , kalau di jawa biasanya di sebut erucokro, begitu yang Ki Semar katakan dan ia juga mendapatkan informasi ini dari bisikan prabu jayabaya. Namun karena Ki Semar yang berucap tadi adalah Ki Semar kampung mungkin saja ini hanya untuk wilayah sekitar kampung saja bukan pada wilayah negara, artinya, bisa jadi ratu adil ini adalah mang Jani atau pak Sukirman yang menjadi keamanan kampung saya, bisa jadi juga pak Lurah.

Baca Juga:  Cara Kelola Pengeluaran Bulanan di Masa Pandemi

“Bagaimanapun juga sebuah negara akan ‘benar’ jika dari wilayah terkecilnya sudah ‘benar’ terlebih dahulu, dari mulai keluarga, kampung, desa, kota, sampai kewilayah yang lebih luas yaitu negara. Ente tidak usah sok sokan jadi pengamat politik seperti yang ada di televisi itu, lebih baik berbuat terlebih dahulu di kampung ente, apa yang bisa ente lakukan untuk penduduk kampung. Kalau ente bisanya shalawatan ya shalawatan saja semampu ente, kalau ente bisanya mengumpulkan anak anak muda untuk di ajak main rebana sambil melindungi mereka dari kebudayaan luar yang sudah tidak mengerti nilai kearifan, ya kerjakan sekuat ente, kalau ente bisanya mengajar Al Quran anak anak kecil supaya mereka nanti tidak buta huruf hijaiyah, do it! Itu namanya bocah angon.” Ki semar mengoceh sambil matanya tetap fokus ke kartu gaplek.

“masa kita harus diam saja melihat ketidak adilan dan penipuan penipuan yang mengatas namakan kepentingan rakyat?” Protes kiai Petruk yang dari tadi sudah greget

“loh bagus itu. Bukannya tanda tanda ratu adil ini datang adalah kemelut sosial, malapetaka alam, tawuran dimana mana,. Seharusnya kita bermunajat kepada gusti Allah, supaya kemelut di pagelaran wayang kenegaraan yang tadi kita tonton supaya lebih besar lagi, supaya bisikan prabu jayabaya yang tadi saya dengar, mempercepat datangnya ratu adil ini.” Ki semar memberikan penjelasan sambil sesekali menghisap rokok kreteknya.

Kiai Togog yang dari tadi diam saja ikut angkat bicara “benar yang di katakan Ki Semar, saya yang memiliki majikan shummun bukmun umyun fahum la< yarji’u<n saja masih setia memberikan masukan kepada majikan saya yang gendhengnya luar biasa, saya percaya bahwa kesempatan kesempatan itu masih ada, sebenarnya saya juga sudah tidak memiliki kesanggupan lagi untuk mengikuti majikan saya ini, masalahnya gusti Allah melarang hambanya berputus asa, artinya kesempatan atau peluang itu masih terbuka lebar. Seperti yang di katakan Ki Semar tadi, sambil menunggu ratu adil datang ente menjadi cah angon,tidak perlu menjadi lurah untuk menjadi cah angon. Kehancuran akhlak di pagelaran pewayangan ente tawar dengan mengulur waktu supaya murka Allah tidak disegerakan”

Baca Juga:  Implikasi Wabah Covid-19 Terhadap Risiko Likuiditas Perbankan Syariah, Ditengah Terpuruknya Nilai Rupiah

“loh emang murka Allah bisa kita tawar”? tanya saya yang kebingungan dengan istilah tawar menawar murka ini.

“saya pernah mendengar bahwa suatu waktu Allah akan mengazab sebuah kampung, karena ada seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, kemudian azab itu Allah tangguhkan, entah itu hadis atau pendapat ulama saya lupa detailnya, tapi seharusnya ente bisa mengambil kesimpulan dari yang saya sebutkan tadi.” Jelas kiai Togog.

Memang berbeda kalau ngobrol sama para dewa ini, Kiai Togog dan ponokawan yang berbeda majikan bisa ngobrol santai sambil main gaplek tanpa harus berdebat menjagokan majikannya masing masing, kadang mereka tertawa terkekeh kekeh menertawai para majikannya yang menurut mereka sedang kerasukan jin, sayangnya rakyat jelata seperti saya ini terbawa eforia karena terpangaruh dari media masa , terlevisi, bahkan dari sesama rakyat jelata yang terhipnotis oleh kerengan yang sedang di saksikan.

Menjelang tengah malam mereka bubar, Kiai Togog pergi menuju barat, sedangkan Ki Semar dan tiga muridnya pergi ke arah timur, sebelum mereka bubar Bagong yang dari tadi tidak ikut berbicara mengucapkan kata perpisahan kepada saya, “ane pamit dulu bro! Waktunya ane melanjutkan tugas sebagai pembantu majikan ane, ini sudah tengah malam, mungkin majikan ane sudah pada kelelahan habis jadi artis pagelaran wayang kenegaraan tadi, ente urusin aja lingkungan ente, jangan ikut ikutan saperti majikan ane, jadi orang yang bisa ngangon, sambil menunggu ratu adil datang. Good bye”.

Narasumber : Ubaidillah