Bak mantra seorang pesulap, “Simsalabim, Per 1 Januari 2018, jutaan orang kehilangan pekerjaan”. Prok… prok…. Maka menjamurlah pengangguran itu di sepanjang pesisir negeri.
Nelayan kehilangan nafkah karena dipicu oleh kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tidak bijak. Ratusan ribu nelayan mendadak nganggur, dan menjadi jutaan orang ketika ditambahkan dengan puluhan profesi terkait-terdampak. Mohon maaf, nelayan tidak sedang bercanda, tetapi sedang bicara fakta menganga di depan mata. Mau diapakan mereka? Mau dibawa ke mana nasib mereka? Kita tanyakan kepada “rumput yang bergoyang”.
Pada pengujung 2017 nelayan mengabarkan bahwa akan ada aksi protes besar-besaran pada Januari ini. Nelayan akan melakukan aksi protes di daerah masing-masing pada 8 Januari 2018, dan puncaknya pada 17 Januari 2018 nelayan akan hadir di (depan) Istana Negara untuk mengadukan nasibnya kepada Presiden Republik Indonesia, Ir H Joko Widodo.
Yang terhormat Bapak Presiden Jokowi dan Bapak Wapres Jusuf Kalla. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kewarasan. Kami nelayan mohon doa juga, semoga kami tetap sehat dan waras. Dengan segala kerendahan hati dan kegundahan jiwa, izinkan penulis menyampaikan harapan-harapan wong cilik, nelayan Indonesia.
Beberapa hari setelah Bapak melantik Para Menteri Kabinet Kerja, tepatnya mulai November 2014 nelayan mulai resah. Keresahan itu muncul lantaran terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Republik Indonesia. Permen KP muncul satu per satu, bahkan seperti tanpa jeda, hingga memunculkan kebingungan dan kegundahan di kalangan nelayan dan pelaku perikanan secara umum di Indonesia.
Di antara Permen KP yang membuat nelayan susah, yaitu Permen KP No71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Per ikanan Negara Republik Indo nesia. Permen tersebut merupakan “revisi” dari Permen KP No2 Tahun 2015, yang ditetapkan pada 8 Januari 2015 dan diundangkan pada 9 Januari 2015 (75 hari setelah dilantik).
Permen lain yang membuat nelayan merana adalah Permen KP No56 Tahun 2016 yang merupakan “revisi” dari Permen KP No1Tahun2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.), yang ditetapkan pada 6 Januari 2015 dan diundangkan pada 7 Januari 2015 (73 hari setelah dilantik).
Juga beberapa Permen KP lain nya yang dinilai tidak memenuhi harapan nelayan dan masyarakat perikanan secara umum. Seloroh nelayan, “Permen itu biasanya manis, tetapi Permen KP itu pahit.” Permen-Permen itu bagai menghujam jantung nelayan, ia datang bagaikan petir pada siang bolong.
Nelayan tentu tidak diam, semut merah tak kan menyerah jika diinjak. Nelayan mengadukan nasibnya ke berbagai pihak.
Kepada pemerintah, bahkan pernah bertemu Menteri KP dan Bapak Presiden. Ketika bertemu Menteri KP, nelayan mengatakan bahwa yang terjadi bukan “dialog”, melainkan “monolog”. Nelayan juga melapor kepada Komisi Ombudsman, hingga keluar Rekomendasi Ombudsman. Perjuangan nelayan tidak berhenti, mereka pantang menyerah, mengetuk pintu-pintu kebijaksanaan.
Kepada ormas-ormas besar, Komnas HAM, Para Peneliti- Akademisi, Partai Politik, DPR, MPR, serta berbagai pihak yang dinilai dapat membawa perubahan nasib. Nelayan juga menggelar “Parlemen Jalanan” berkali-kali, di kampung halaman dan di depan Istana, menuntut agar Permen KP yang dinilai menindas nelayan itu segera dicabut.
Pada 2017 permohonan keberatan dan protes nelayan itu puncaknya membuncah pada 11 Juli 2017. Puluhan Ribu nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Indonesia turun ke jalan, menggelar aksi damai di depan Istana Negara dengan membawa harapan besar. Aksi tersebut disebut sebagai “demonstrasi nelayan terbesar” sepanjang sejarah Indonesia.
Nelayan menggugat danmempertanyakan komitmen Nawacita, Poros Maritim, serta meminta pemerintah untuk mengembalikan “hak nelayan”, untuk memperbaiki kehidupan nelayan. Nelayan Indonesia membingkai harapannya dengan harapan sampai ke tangan Bapak Presiden sehingga Istana tidak lupa.
Nelayan berharap kepada Bapak Presiden untuk segera menyelamatkan dunia perikanan Indonesia.
Beberapa tuntutan aksi ne layan 11 Juli 2017, di antaranya adalah: Meminta kepada pemerintah untuk melegalkan alat tangkap cantrang dan atau payang di tingkat nasional dengan tidak membatasi ukuran gross ton kapal; Meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan seluruh peraturan yang diterbitkan oleh Menteri KP karena berdampak pada mundurnya perikanan Indonesia; Meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk segera menyelamatkan perikanan Indonesia dengan segera menerbitkan SIPI kapal nelayan agar bisa menjamin pasokan bahan baku ikan ke industri atau unit pengolahan ikan (UPI) di seluruh Indonesia yang mati karena ketiadaan bahan baku ikan akibat pelarangan alat tangkap cantrang, payang , dan lain-lain, serta berbelit-belitnya prosedur perizinan operasional kapal nelayan sehingga nelayan dan buruh pengolah ikan kehilangan penghasilan; Nelayan Indonesia juga menolak kapal-kapal fiberglass bantuan KKP karena tidak sesuai spesifikasi, tidak berizin Kemenhub, tidak berizin SIPI dan SIKPI; Mendesak para penegak hukum untuk segera membebaskan para nelayan Indonesia yang dikriminalisasi oleh Permen KP; dan Mendukung penuh keinginan Bapak Presiden Republik Indonesia untuk mengembangkan perikanan budi daya (Aquaculture) kerapu dan lobster sehingga bisa membuka puluhan juta lapangan kerja di desa-desa pesisir di seluruh Indonesia.
Hari itu, ada secercah harapan ketika Perwakilan Nelayan diterima Pihak Istana yang diwakili oleh Bapak Teten Masduki yang menurut beliau mendapat perintah langsung dari Bapak Presiden Jokowi. Keluh kesah, kegalauan, rasa marah, bahkan tangisan nelayan tumpah ruah di dalam Istana. Nelayan menumpahkan semua situasi kebatinan yang dirasakannya.
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, pertemuan bersejarah itu menuai hasil sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada nelayan cantrang dan/atau payang untuk kembali melaut dengan tidak membatasi gross ton kapal dan tidak ada penangkapan oleh aparat sampai dengan Desember 2017.
Kedua, Pemerintah akan melakukan kajian komprehensif tentang cantrang dan/atau payang hingga Desember 2017, dan jika terbukti bahwa cantrang dan/atau payang tidak merusak lingkungan, maka akan dilegalkan secara nasional.
Ketiga, Pihak Istana akan mengunjungi sentra-sentra nelayan cantrang dan/atau payang di berbagai wilayah secepatnya untuk melihat secara langsung fakta di lapangan.
Keempat , Presiden RI Bapak Ir H Joko Widodo berjanji akan mengundang perwakilan nelayan, masing-masing 2 (dua) orang per daerah untuk berdialog secara langsung dalam waktu dekat.
Sejak saat itu, nelayan bisa kembali melaut walau dengan lika-liku birokrasi dalam mengurus perizinan. Enam hari setelah itu, pihak Istana yang diwakili Bapak Teten Masduki dan jajaran pun mengunjungi salah satu sentra nelayan cantrang di Kota Tegal. Artinya, Istana telah memenuhi dua poin (pertama dan ketiga) hasil pertemuan dengan perwakilan nelayan.
Dari bulan Juli hingga Desember 2017, nelayan tidak bosan, terus mengingatkan hasil pertemuan Istana yang belum dipenuhi, yaitu kajian komprehensif cantrang/ payang serta dialog nelayan dengan Bapak Presiden RI. Namun hing ga kini, harapan tinggal harapan.
Walau demikian, nelayan tidak akan pernah berhenti berjuang. Atas pengaduan nelayan pada awal 2017, Komnas HAM RI juga melakukan pemantauan lapangan di beberapa daerah, lalu ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan focus group discussion (FGD) pada 12 Juli 2017, yang dihadiri oleh beberapa pihak terkait, di antaranya; Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah, DPRD Rembang, DPRD Kota Tegal, DPRD Brebes, Wakil Bu pati Rembang, Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI), Front Nelayan Indonesia (FNI), Asosiasi Budi Daya Ikan Laut Indonesia (ABILINDO), dan Perwakilan Nelayan dari beberapa wilayah.
FGD sangat penting guna men dapatkan data dan informasi yang lebih objektif dan komprehensif. Hasilnya, pada September 2017 Komnas HAM RI telah menyurati Bapak Presiden RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, perihal tindak lanjut terkait implementasi Permen Nomor 71 Tahun 2016. Sesuai fungsi pemantauan dan penyelidikan dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM RI meminta pemerintah agar segera:
Pertama, Membentuk Tim Independen/mandiri untuk me lakukan kajian terkait dampak penggunaan cantrang sebagai salah satu alat penangkap ikan;
Kedua, Membuka forum dialog seluas-luasnya dengan masyarakat terdampak;
Ketiga, Melakukan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat terdampak atas kebijakan yang dikeluarkan.
Komnas HAM RI juga mendukung pemerintah dalam upaya peningkatan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan, serta untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.
Namun, hendaknya upaya tersebut tidak dilakukan dengan cara mengabaikan hak masyarakat, terutama masyarakat nelayan. Selain itu, Komnas HAM RI juga mendorong realisasi atas hasil pertemuan antara nelayan dengan pihak pemerintah yang diwakili oleh Bapak Teten Masduki.
Komnas HAM RI menyampaikan penting nya tindak lanjut atas rekomendasi tersebut guna pemenuh an hak atas kesejahteraan terkait dengan hak untuk hidup, serta hak untuk mem pertahankan hidup bagi warga yang dijamin dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum dan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Di pihak lain, KKP tetap bersikukuh dengan Permen 71/2016, dengan salah satu alasan yang mengemuka bahwa alat tangkap cantrang dan payang itu merusak lingkungan. Argumen itu telah terbantahkan.
Pertama, Sedari dulu nelayan meyakini bahwa alat tangkap buah dari kearifan lokal itu tidak merusak. Jika kena terumbu karang, tentu jaring rusak. Nelayan manakah yang mau merusak jaringnya? Apalagi lingkungannya (laut) tempat mereka mencari nafkah.
Kedua , berbagai kajian yang dilakukan berbagai pihak, para peneliti, akademisi, hasilnya telah membuktikan bahwa alat tangkap cantrang dan payang tidak merusak lingkungan.
Yang perlu dilakukan bukan pelarangan, melainkan pengaturan (pengendalian), dan pada prinsipnya nelayan tentu mau diatur, bukan dilarang. Oleh karenanya, kajian komprehensif dan dialog seluasluasnya adalah jalan terbaik menuju tujuan yang sama, yaitu menyelamatkan perikanan Indonesia.
Pada 16 November 2017, juga digelar dialog antara perwakilan nelayan dan masyarakat perikanan se-Indonesia dengan Ketua MPR RI di Gedung MPR. Ketua MPR menyampaikan komitmennya untuk memperjuangkan nasib nelayan. Beliau mengatakan bahwa konstitusi menegaskan negara harus hadir melindungi rakyat.
Tugas negara melindungi rakyat, mewujudkan keadilan sosial. Harus ada solusi menyeluruh untuk kebaikan dan kesejahteraan nelayan. Pada 29 November 2017 Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) menggelar Dialog Terbuka dan Sidang Istimewa Nelayan di Gedung Nusantara V MPR RI, sebanyak 275 nelayan dari berbagai wilayah di Indonesia hadir dalam pertemuan istimewa itu.
Pada sesi dialog dihadiri oleh Ketua MPR RI, fraksi-fraksi DPR RI, akademisi, perwakilan DPRD, Kadin, perwakilan dari industri perikanan, perwakilan sektor terdampak lainnya dan mahasiswa. Semua pihak yang hadir sepakat dan berkomitmen mendukung legalisasi cantrang dan payang secara nasional.
Nelayan juga akan melayangkan “sejuta surat” untuk Bapak Presiden, yang berisi suara hati nelayan, keluarga nelayan, dan masyarakat terdampak.
Paparan di atas, barangkali hanya secuil cerita dari gunungan perjuangan nelayan dan “para pembela” nelayan selama ini.
Penulis berupaya menggambarkan, betapa dahsyat perjuangan nelayan untuk mem pertahankan haknya. Dan yakinlah, nelayan dan para pembela nelayan akan terus berjuang demi perbaikan nasib dan kesejahteraan nelayan.
Penulis: Sutia Budi,Wakil Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI)