Beranda Opini

Cokro Manggilingan, Sejarah yang Terulang

Cokro Manggilingan, Sejarah yang Terulang

“Tugas yang harus diemban mbak Titiek tentu sangat strategis karena harus membawa bangsa Indonesia agar semakin kokoh dan kukuh, yaitu pikukuhing negoro nuswantoro”

Pak Soedjono Hoemardani sebagai tokoh spiritual jawa (kejawen) pada malam Jumat pahing bulan Desember 1963 menerima dawuh/petunjuk di petilasan Majapahit Trowulan, Mojokerto.

Petunjuk-NYA yang diperoleh pak Jono adalah menyebutkan, bahwa Pak Harto mendapat amanah dari Tuhan YME untuk memimpin bangsa Indonesia dalam rangka “Gumolong Ing Karyonak Tyasing Sesomo”.

Istilah tersebut, kemudian disingkat menjadi Golkar yang kini menjelma menjadi sebuah partai politik besar yang sangat diperhitungkan.

Dinamika politik di republik ini telah membawa Golkar kepada situasi pasang surut. Bahkan, pasca status hukum Setya Novanto yang juga Ketua Umumnya, membuat Partai Golkar berada di titik nadir.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini telah terjadi krisis kepemimpinan di tubuh internal Partai Golkar yang akan mengakibatkan pergantian ketua umumnya, dalam waktu dekat ini.

Terkait dengan dinamika alam semesta, pada malam Jumat pahing yang lalu, pada saat laku kungkum di kali tempuran Gadog, Bogor saya menerima petunjuk Tuhan YME bahwa sudah saatnya Titiek Soeharto menerima amanah dari pak Harto.

Tentu saja melalui peran mbak Titiek untuk mengentaskan Partai Golkar dari berbagai persoalannya, dan membuat eksistensi Partai Golkar yang lebih baik lagi.

Tugas yang harus diemban mbak Titiek tentu sangat strategis karena harus membawa bangsa Indonesia agar semakin kokoh dan kukuh, yaitu pikukuhing negoro nuswantoro.

Diawali dengan itikad baik, dan niat suci melanjutkan amanah leluhurnya, dan berdasarkan kasunyatan (Ridho Allah), semoga melalui Golkar, mbak Titiek akan membawa bangsa ini menjadi damai dan sejahtera secara merata, sesuai dengan Pancasila, dan UUD 1945.

Narasumber: Romo Harie adalah budayawan, praktisi spiritual Jawa, dan Ketua Paguyuban Bawono Toto.