MBOK PATMI, KEPERGIANMU TAK SIA-SIA!
Manusia adalah pejalan setia menuju kematian
maka tak ada manusia hidup abadi di negeri semen ini
di pegunungan di pesisir di desa di kota
kematian tidak pernah memilih tempat
manusia hanya bisa memilih jalan kematiannya
ada yang memilih jalan hina
ada pula yang memilih jalan ksatria
pejalan setia di jalan-jalan panjang perjuangan
ia tahu cara memilih jalan matinya
ia tahu tak perlu ada yang ditinggal kecuali amal bakti
pejalan setia adalah manusia yang senyum
menghadapi kematiannya
mbok patmi, rabu petang kau sapa anak dan cucumu
kau pamit menuju jakarta
dari pegunungan kendeng kau turun menuju ibukota
kau perhatikan petak-petak sawah yang ketakutan
gunung yang cantik berbedak kapur
yang menyimpan barang tambang buruan
kau intip dari hari ke hari
kau pertaruhkan di meja-meja hakim
korporasi tambang dan pabrik semen
hasil riset para oknum kampus
surat izin berdarah dari gubernur
preman-preman bayaran pembakar rumah dan mushala
aih, dirimu tetap berdiri
berjalan kaki dari desa ke kota dari waktu batu ke batu waktu
rabu petang, kepada sri utami, putrimu, kau berbisik:
“aku pergi demi anak dan cucu, demi tanah air ini!”
lalu kau dekati putramu, daiman,
kau ingatkan sawah harus dijaga agar tidak puso
agar kendeng tetap lestari
agar desa tidak berubah menjadi pabrik semen
lalu kau berjalan pelan sambil memberi kecupan pada cucumu
semua hening
mungkin termasuk suamimu, rosad,
yang sehari sebelumnya telah pergi kerja ke sumatera
ikut merasakan hening
kamis pagi di jakarta
kau sapa semua manusia yang kau jumpai
dengan senyum perjuangan
lalu kau duduk berbaris
bersama petani-petani perempuan berjiwa ksatria
kau ikhlaskan kedua kakimu masuk ke dalam papan kotak
kau ikhlaskan kedua kakimu dicor semen
mbok patmi, negeri ini punya siapa?
negeri ini negeri apa?
ketika sawah harus dibayar nyawa demi semen
ketika pribumi harus mati demi padi
masihkah pantas murid-murid di sekolah
menghafal indonesia sebagai negeri agraris?
mbok patmi, 48 tahun usiamu
selasa dini hari pukul 02.55
21 maret 2017 kau pamit ke surga
setelah 5 hari kedua kakimu dalam papan kotak
setelah 5 hari kedua kakimu dicor semen
akhirnya kau tahu cara terbaik menuju kematian
kau mandikan jasadmu sendiri
agar suci dari najis
agar bersih dari omong kosong penguasa
jantungmu pun berdetak cepat
agar cepat kau sampai di surga
mbok patmi, tak pernah ada yang sia-sia
dari kematian seorang pejuang
sebab sesungguhnya pejuang selalu hidup
dalam setiap perjuangan
selamat jalan, pejuang!
selamat jalan, pejalan setia!
Banten, 23 Maret 2017.
Oleh: Chavchay Syaifullah adalah penyair, Sarjana Sastra dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Banten (DKB) dan Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI).