Beranda News

Kajian Sejarah Regen Boncel jadi Episentrum Pertama di Rafe’i Ali Institute

Kajian Sejarah Regen Boncel jadi Episentrum Pertama di Rafe’i Ali Institute
Iin Sholihin, Pemateri kajian Regen Boncel di Rafe'i Ali Institute (4/4/2017)

PANDEGLANG, Pelitabanten.com – Rafe’i Ali Institute adalah sebuah lembaga kajian kebudayaan yang menjadi episentrum baru di Banten, tepatnya di kampung Jaha Masjid, Desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Sejumlah program telah disusun dengan fokus agar sejarah yang berkembang di tengah masyarakat menjadi sumber refleksi agar masyarakat Banten, khususnya Pandeglang, dapat mengetahui jati diri mereka yang sesungguhnya.

Rafe’i Ali Institute dibentengi oleh empat orang anak almarhum Kiai Rafe’i Ali yaitu, Neng Dara Affiah (doktor di bidang Sosiolog dan saat ini menjadi dewan pengarah World Culture Forum (WCF) Kemendikbud RI-Unesco), Ace Hasan Sadzily (anggota DPR RI), Nong Darol Mahmada (co-founder Jaringan Islam Liberal), Agus Khatibul Umam (Kepala Madrasah Aliyah Annizhomiyyah) dan yang menjadi Direktur Eksekutifnya adalah seorang aktivis literasi, Fatih Zam.

Sebagai episentrum, tepat pada titik di atas pusat gempa itu berdiri Balai Ilmu Pengetahuan Rafe’i Ali dimana telah terjadi gempa pertama, sebuah program kajian diberi nama Ngakeul Akal, dengan mengusung kajian sejarah Bupati Caringin yang lebih dikenal di tengah masyarakat dengan nama Regen Boncel. Selasa (4/4/2017).

Di Balai Ilmu Pengetahuan Rafe’i Ali, lebih dari 40 anak muda duduk bersila layaknya sedang mengaji dan berdiskusi. Mereka dari unsur GPC (Gerakan Pemuda Caringin), aktivis HMI, mahasiswa UNMA dan pemuda kampung Pejamben, Sukamaju dan pemuda kampung Jaha Masjid sebagai tuan rumah.

Pemateri kajian Regen Boncel, Iin Solihin mengatakan, “sejarah Regen Boncel memang perlu ditinjau lebih luas dan tidak berafiliasi hanya pada cerita rakyat semata. Sejarawan sekaliber Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo saja menyinggung Regen Boncel, jadi mengapa saya memaksa menyajikan ini karena keprihatinan saya melihat dokumentasi-dokumentasi yang menghidupkan dari Priangan, difilmkan oleh anak SMA justru di akhir sejarah Regen Boncel dimaafkan oleh ibunya, ini sebetulnya penyimpangan, ada penyelewengan sejarah, makanya hal ini harus ditelusuri,” katanya.

Menurut Ketua Gerakan Pemuda Caringin (GPC), Oji Fachruroji, Regen Boncel memang merupakan fakta sejarah. Keberadaan Regen Boncel, menurut Oji, bisa dilihat dari artefak atau peninggalan-peninggalan sejarah yang bisa dibuktikan.

“Saya meyakini memang ada (Regen Boncel), misalnya adanya peninggalan gedung rombeng, saksi sejarahnya juga ada, namun pada bangunan tersebut bata-batanya banyak diambil warga karena harganya mahal,” katanya.

Oji menambahkan, namun fakta-fakta tersebut harus tetap dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam. Penelitian tersebut bisa dimulai dengan menemui makam, kuncen maupun bukti-bukti sejarah lainnya. Agar sejarah Regen Boncel dapat disusun secara utuh.

“Maka dari itu kami tentu sangat bersyukur karena Rafe’i Ali memberikan wadah untuk mendiskusikan dan mengkaji soal Regen Boncel ini,” ujarnya.

Nama Regen Boncel melekat dengan sejarah Caringin sebagaimana dalam karya tulis dan cerita rakyat yang berkembang. Pada masa Hindia Belanda, Regen terdiri dari para adipati, yang biasanya dipilih dari kalangan saudagar atau priyayi. Di masa awal kerajaan Mataram, pada masa Sultan Agung (bertahta 1613-16-45) sang raja menitip pengurusan daerah yang ditaklukkannya kepada orang yang dipercayainya. Saat itu nama pejabat tersebut adalah “adipati” yang pada masa modern disebut Bupati.

Namun dalam cerita Regen Boncel bernama lengkap Tumenggung Raden Aria B Wiradijaya, yang memerintah sejak 1816 dan dalam manuskrip sejarah belum diketahui akhir masa jabatannya. Sesungguhnya ia bukanlah berasal dari keturunan priyayi. Menurut cerita Regen Boncel adalah seorang pendatang dan bekerja sebagai pengurus kuda di sebuah keluarga priyayi di Caringin. Karena melihat anak tuannya yang belajar, Boncel diam-diam membuat tulisan di dinding. Ketika tuannya bertanya kepada anaknya, sang anak menjawab ini tulisan Boncel. Kemampuannya menulis yang terus berkembang menjadikan dirinya dipercaya menjadi Regen di keregenan Caringin.

Kisah Regen Boncel sebenarnya hampir sama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Novel ini bercerita tentang Soedarsono seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi. Berkat dorongan Asisten Wedana ndoro Seten ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja.

Direktur Eksekutif RAI, Fatih Zam mengungkapkan, tema-tema seperti Regen Boncel di Caringin diharapkan bisa menjadi kekayaan sejarah yang bisa dilestarikan dan membawa kebermanfaatan bagi warga sekitar. “Hal ini bisa kita kembangkan misalnya sekitar Caringin menghasilkan wisata sejarah maupun wisata lain yang mampu mendatangkan sumber pendapatan bagi warga. Sehingga daerah itu menjadi hidup dan warga pun menjadi sejahtera,” ungkapnya.