Beranda News

Rafe’i Ali Institute Selenggarakan Diskusi Literasi Fotografi

Rafe’i Ali Institute Selenggarakan Diskusi Literasi Fotografi
Djuli Pamungkas, berkaos hitam tengah menyampaikan materi workshop fotografi di Balai Ilmu Pengetahuan Rafe'i Ali Institute, Sabtu (17/6/2017)

PANDEGLANG, Pelitabanten.com – Salah satu rangkaian Munggahan Kampung Literasi bertajuk “Ramadhan Bulan Iqra & Qalam” yang disajikan Rafe’i Ali Institute di Kampung Jaha, Desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang-Banten telah memasuki pekan kedua. RAI menyelenggarakan Diskusi Literasi Fotografi dengan pembicara Djuli Pamungkas, jurnalis foto Koran SINDO Jakarta.

Acara yang dipandu Ketua Gerakan Pemuda Caringin (GPC), Oji Fahruroji, dikemas secara santai. Djuli memberikan pemaparan bahwa berbicara foto bukan hanya tentang bagus dan tidaknya dengan melihat pada kualitas gambar. Foto sebenarnya, kata fotografer yang pernah memamerkan karya fotonya di Kedubes Belanda pada 2017, adalah penjelmaan dari sebuah ide.

“Tanpa ide, alat secanggih apapun tidak akan ada artinya,” ujar Djuli di Balai Ilmu Pengetahuan Rafe’i Ali Institute, Sabtu (17/6/2017)

Ditambahkan Djuli, alat memang menunjang. Namun, canggihnya alat tanpa cemerlangnya ide takkan berarti apa-apa. Kamera canggih yang dipegang orang yang miskin ide takkan menghasilkan gambar yang artistik. Sebaliknya, kamera dengan fasilitas biasa-biasa saja, di tangan orang yang kaya ide, akan menghasilkan foto-foto yang menarik, hidup dan berbicara.

Djuli menuturkan bahwa fotografi sejatinya bukan tentang jepret semata. Tetapi fotografi juga melibatkan pembacaan dan penghayatan. Terlebih sebagai seorang jurnalis foto, tak cukup bisa motret tetapi juga harus mengerti kaidah-kaidah jurnalistik.

Atih Ardiansyah, Direktur Eksekutif RAI menuturkan sengaja menyelenggarakan diskusi mengenai fotografi dengan melekatkan kata “literasi”, karena masih banyak yang beranggapan bahwa menjadi ahli foto itu harus dengan memiliki kamera yang bagus. Anggapan bahwa menjadi fotografer andal harus dengan kamera yang bagus dan mahal hanya akan menghambat seseorang mau belajar.

“Fotografi itu sebuah seni. Sama dengan tulisan, salah satu fungsinya adalah mengabadikan sejarah. Saat ini sejarah banyak direkam dalam gambar, dalam foto. Jadi, menjadi fotografer itu sama dengan bekerja untuk keabadian,” tutur Atih.

Apa yang dipaparkan Atih diamini oleh Djuli Pamungkas. Ponsel pintar saat ini sudah dilengkapi dengan teknologi kamera yang cukup bagus. Siapa saja bisa memotret dan langsung membagikan hasil fotonya ke media sosial.

“Siapa pun yang memasang hasil fotonya di media sosial, entah di facebook, twitter atau instagram, hakikatnya dia sedang menjalankan fungsi jurnalisme warga. Tentu saja fotonya harus yang bermanfaat.”

Dalam diskusi yang dihadiri pelajar dan mahasiswa ini, Djuli menunjukkan beberapa foto hasil jepretannya selama berkarir sebagai jurnalis foto di Koran SINDO Jawa Barat maupun SINDO Jakarta.