Beranda News

Obituary: Sang Pengelana Sunyi, Leo Kristi Telah Berpulang ke Pangkuan Ilahi

Obituary: Sang Pengelana Sunyi, Leo Kristi Telah Berpulang ke Pangkuan Ilahi
Musisi senior Leo Kristi dipanggil Yang Maha Kuasa Minggu (21/5/2017) dinihari tadi sekitar pukul 00.30 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung, Jawa Barat.

BANDUNG, Pelitabanten.com – Berita duka datang dari dunia musik Tanah Air. Musisi senior  Leo Kristi dipanggil Yang Maha Kuasa Minggu (21/5/2017) dinihari tadi sekitar pukul 00.30 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung, Jawa Barat.

Almarhum meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Jenazah penyanyi dengan nama asli Imam Sukarno ini saat ini dibawa ke rumah duka di Jakarta, di Jalan Bongas II E7 No, 17 Jatiwaringin Asri, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Kisah perjalanan karier bermusiknya diabadikan di laman www.hitamputihorche.com/tentang-leo-kristi/ oleh Ramdan Malik. Berikut perjalanan hidup mendiang Leo Kristi. Lahir di Surabaya pada 8 Agustus 1949, Imam Sukarno besar dalam keluarga priyayi. Karena berasi bintang Leo, ia biasa dipanggil Leo. Ayahnya, seorang birokrat pajak, suatu hari mewariskan sebuah gitar Ibanez hitam kepadanya. Leo yang iri melihat abangnya, Boni, diwariskan keris merajuk. “Gitar itu keris saktimu,” ujar ayahnya yang memahami bakat musik Leo. Keris sakti itulah yang kemudian disingkat menjadi nama keduanya: Kristi.

Kendati dibesarkan dalam lingkungan kelas menengah, Leo kecil biasa bermain dengan anak-anak kampung di dekat rumahnya. Mereka kerap bernyanyi bersama, sambil memainkan kecrekan yang terbuat dari tutup botol. Menginjak usia remaja, Leo mulai suka berkelana. Ia senang menumpang kereta sampai ke perbatasan kota Surabaya. Sementara ia bersekolah Katholik yang sering melibatkannya bersenandung dalam paduan suara gereja. Minat musik membuatnya belajar memetik gitar, antara lain, kepada Tino Kerdijk.

Bakat lainnya, menggambar, mendorong Leo muda kuliah di Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,  Surabaya. Tapi, ia ternyata lebih asyik bermusik, lalu meninggalkan kampusnya. Bersama mendiang Gombloh, Leo Kristi membentuk kelompok musik Lemon Trees pada akhir 1960-an. Ia juga sempat membentuk band dengan Harry Dharsono yang kini terkenal sebagai desainer. Berduet dengan Titi Ajeng dalam duo Leo Christy, ia kerap membawakan balada-balada Bob Dylan, Joan Baez, Nana Mouskouri, Cat Stevens, Simon and Garfunkel, Peter, Paul and Mary, serta lagu-lagu Latin.

Pada awal 1970-an, Leo Kristi menggubah lagu pertamanya, Serenada Pagi 1971. Bersama Naniel dan Mung Sriwiyana, ia akhirnya membentuk Konser Rakyat Leo Kristi pada 1975, dengan vokalis perempuan kakak beradik, Jilly dan Lita. Penampilan mereka berlima dalam Festival Folk Song di Gedung Merdeka, Bandung menarik perhatian majalah musik Aktuil untuk merekamnya. Kemudian lahirlah album pertama Konser Rakyat Leo Kristi, Nyanyian Fajar, pada 1975.

Tembang-tembang Leo Kristi yang merambah musik folk, Latin, etnik, hingga gambus, dengan lirik-lirik balada yang puitis, langsung menarik perhatian publik. Keseharian hidup nelayan yang penuh risiko dinyanyikan tidak dengan menghiba, tapi penuh semangat, dalam lagu Lenggang Lenggung Badai Lautku. Potret kereta ekonomi yang berjejalan dan seorang guru yang berjualan di stasiun untuk menambah penghasilannya terekam dalam Di Deretan Rel-rel. Optimisme petani ditembangkan dengan liris dan berderap dalam Nyanyian Fajar. Spiritualisme muncul mengharukan dalam Nyanyian Maria. Sebuah lagu cinta yang indah pun menyelinap dalam Nyanyian Musim.

Sebuah perusahaan rekaman di Jakarta, Irama Tara, tertarik merekam album kedua Konser Rakyat Leo Kristi, Nyanyian Malam, pada 1977. Religiositas, cinta, heroisme, catatan perjalanan, dan keseharian hidup rakyat kecil berkelindan apik. Lagu pembukanya, Nyanyian Malam, merekam jalan sunyi Leo Kristi dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, namun diteguhkan spiritualitasnya: “hanya setitik sinar-Mu/ ketika kuberjalan/ di sisi terali-terali/ setinggi lima kaki/ yang membatasi diriku/ dengan dunia sekelilingku/ dengan cinta di hatimu/ dengan keagungan-Mu”.

Setahun kemudian lahir album ketiga, Nyanyian Tanah Merdeka, yang diakui Leo Kristi paling sukses di pasar. Gulagalugu Suara Nelayan yang menghadirkan melodi tembang Madura, Tanduk Majeng, menjadi hits dan “lagu kebangsaan” Konser Rakyat Leo Kristi yang selalu ditagih penggemarnya setiap manggung. Sederet karya Leo Kristi dalam album ini pun kemudian populer seperti Salam Dari Desa, Lewat Kiaracondong, Hitam Putih, Kereta Laju, Tepi Surabaya, dan Kaki Langit Cintaku Berlabuh.

Pada 1979, Suara Emas Record mengedarkan album keempat Konser Rakyat Leo Kristi, Nyanyian Cinta. Rekaman ini sangat personal. Lantunan azan dalam Anna Rebana bersahutan dengan lonceng gereja dalam Baptis Theresia. Vokal Leo Kristi disemberkan, suara tuts piano dihantam, dan cengceng berderak dalam Layar Asmara yang bernuansa musik eksperimental. Riuh kokok ayam membuka Siti Komariah, dilanjutkan dengan denting piano yang lincah. Seorang pengamen siter waria asal Banyuwangi diajak Leo masuk studio dalam Dimas Kajat Zulaikha. Sebuah nyanyian pujaan kepada tanah air, Mutiara Pertiwi, pun mengalir gagah.

Eksperimen musik Leo Kristi semakin kental dengan nuansa etnik dan bunyi dalam album kelima Konser Rakyat, Nyanyian Tambur Jalan, yang direkam Akurama Record pada 1980. Aroma musik Banyuwangi hingga Bali menyeruak riuh. Kritik sosial yang tajam dalam Komedi Badut Pasar Malam, berpadu dengan jalan hidup yang sederhana dalam Sayur Asam Kacang Panjang. Gelora cinta tanah air dalam Dirgahayu Indonesia Raya, berdampingan dengan kerinduan kekasih dalam Bra Bra Desember.

Periode Nyanyian dalam lima album, kemudian dilanjutkan dengan periode Lintasan. Pada 1983, muncul album keenam Konser Rakyat, Lintasan Hijau Hitam. Lirik-lirik Leo Kristi mendedahkan problem-problem makro: kritik pembangunan yang berpusat di ibukota dalam Sayang Disayang Oh Jakarta, modernisasi kota kelahirarnnya dalam Surabaya Bernyanyi, modal asing Jepang dalam Nippon Banzai Nippon, militerisme dalam Sepatu Larsa, pluralisme dalam Synagoga-synagoga, suka-duka negeri dalam Minna Minkum Nusantara, dan lain-lain.

Sayang, album ketujuh Konser Rakyat yang telah direkam, Lintasan Biru Emas, tidak jadi beredar pada 1985. Di sini ada sebuah lagu elok yang digubah Leo Kristi dalam perjalanannya di Sulawesi, Biru Emas Bintang Tani. Liriknya sebuah catatan perjalanan Nusantara dari zaman prasejarah di lembah megalit Besoa, pedalaman Sulawesi Tengah, sekitar 500 tahun Sebelum Masehi, hingga abad ke-20. Jika dalam album Lintasan Hijau Hitam nuansa musik gambang kromong dan gamelan terdengar, musik krambangan yang mengiringi suku Kaili menari bersama semalam suntuk (bedero) menjadi intro Biru Emas Bintang Tani. Album ini diperkuat personil baru Konser Rakyat Leo Kristi dari Palu, Sulawesi Tengah (Ote Teguh Abadi, Yana dan Nona Van Derkley) serta Komang Dawan dan Cok Bagus dari Bali.

Pada 1985 juga lahir album the best of Konser Rakyat Leo Kristi, Salam Dari Desa dan Di Deretan Rel-rel, yang banyak menggunakan teknologi baru seperti drum machine (Sukapura I), multisound keyboard (Nyanyian Fajar, Beludru Sutra Dusunku). Album ini menandai perubahan aransemen musik yang sebelumnya didominasi instrumen akustik, dengan memanfaatkan teknologi digital. Yang menarik, dalam Nyanyian Fajar, rekaman pidato dua presiden, Soekarno dan Soeharto, dikutip menjelang coda lengking tangisan bayi. Seperti menyambut kedatangan zaman baru, Indonesia yang merdeka dari cengkeraman rezim Orde Lama maupun Orde Baru.

Lima tahun kemudian, Leo Kristi tiba-tiba muncul dengan album kesembilan yang direkam di Bali, Diapenta Anak Merdeka. Berdua dengan seorang gadis remaja asal Surabaya, Cecilia, Leo bernyanyi dengan aransemen musik yang lebih ngepop, seperti Nafas Anak Merdeka dan Halte Remaja. Gitar elektrik bahkan melengking dalam Bra Bra Desember, sebuah lagu lama dari album Nyanyian Tanah Merdeka yang diaransemen rock. Biru Emas Bintang Tani juga bersalin rupa menjadi Nikah Lari Kertagosa, dengan beberapa baris puisi di awal dan akhir lagu. Seikat Mawar Eliza dari album Nyanyian Cinta pun di-repackage dengan riuh sound keyboard dan perkusi. Dua nyanyian cinta yang indah, Tembang Dia Hati dan Kata Hati Nikah, menghadirkan nuansa gamelan Bali, Melayu, serta Timor. Sebuah balada kematian, Bintang Pelangi, pun menyelusup apik selaksa requiem perpisahan.

Wajah Konser Rakyat Leo Kristi yang ngepop mencapai puncaknya pada 1993 dengan album kesepuluh, Catur Paramita, yang diaransemen Ian Antono. Sentuhan rock gitaris God Bless ini terasa dalam lagu Hitam, Putih, Hyang. Sahabat Leo di Surabaya yang kemudian juga menjadi pemusik balada, Franky Sahilatua, menjadi produser album yang hanya berisi dua lagu baru ini. Catur Paramita bahkan sempat menduduki tangga lagu teratas dalam sebuah program musik di SCTV yang dipenuhi anak-anak muda joged.

Dua tahun kemudian, Leo Kristi merekam sendiri album kesebelasnya, Tembang Lestari, di Surabaya. Album ini lahir dari kerjasamanya dengan Bentara Budaya Jakarta, namun tidak beredar luas. Leo menjualnya dari tangan ke tangan, dalam paket sepuluh cd bersama sembilan album Konser Rakyat sebelumnya, minus Lintasan Biru Emas yang tidak beredar walau sudah selesai direkam. Tembang Lestari pernah dinyanyikan Leo dalam peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1995 di lapangan Monas, Jakarta, yang dihadiri Presiden Soeharto dan ratusan ribu rakyat.

Setelah 15 tahun tidak rekaman, komunitas pecinta lagu Konser Rakyat Leo Kristi (LKer) berinisiatif patungan memproduksi album ke-12, Warm, Fresh and Healthy. Album yang direkam di Malang, Jawa Timur ini merambah berbagai genre musik, dari balada, jazz, blues, Latin, hingga etnik. Biola Liliek Jasqee dan sentuhan seorang pemusik kontemporer muda Malang, Redy Eko Prastyo, memperkaya aransemen musik Konser Rakyat. Dalam album ini, beberapa lagu lama Leo Kristi yang belum pernah direkam atau beredar, seperti Biru Emas Bintang Tani dan Isa Tani, akhirnya terdokumentasikan. Dua tahun sebelum produksi album yang beredar secara indie ini, Leo menggubah single, Mars KPC, yang dipesan PT Kaltim Prima Coal di Sangatta, Kalimantan Timur. Musik sampeq Dayak, gericik air sungai, riuh rimba raya terdengar dalam lagu ini.

Tepat pada ulang tahun Leo Kristi yang ke-65, 8 Agustus 2014, LKer kembali meluncurkan album ke-13 Konser Rakyat Leo Kristi, Hitam Putih Orche, di Yogyakarta. Album ini sangat unik karena merupakan kolaborasi Leo Kristi dengan komponis dan arranger, Singgih Sanjaya, serta orkestranya yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Empat bintang tamu pun memperkuat album ini: penyanyi sopran Berlian Hutauruk, vokalis jazz Trie Utami, gitaris jazz Wayan Balawan, serta pemusik kontemporer Wukir Suryadi. Sebelas lagu lama dan sebuah lagu baru Leo Kristi direkam dalam format orkestra bernuansa etnik. Dari pop, klasik, jazz, keroncong, tanjidor, gamelan, sampeq Dayak, hingga kuntulan Banyuwangi terdengar dalam album polifonik ini.

13 album Konser Rakyat merupakan dokumentasi rekaman seratus lebih lagu Leo Kristi. Dengan personil yang terus berubah dari waktu ke waktu, Leo pun telah 45 tahun konser dari panggung ke panggung. Dari Balai Muda di Surabaya, istana Wakil Presiden di Jakarta, peringatan 17 Agustus di Taman Ismail Marzuki, kampus-kampus, galeri-galeri, dan pusat-pusat kebudayaan di berbagai kota, situs megalit Gunung Padang di Cianjur, kafe di Yunani, hingga tepi danau Buaran di ibukota serta kampung buruh di gang Cempluk kota Malang. Dalam usianya yang tak lagi muda, ia pun masih berkelana untuk menggubah melodi dan lirik lagu-lagunya. Dari perkampungan kumuh di Surabaya, perkebunan tebu di pesisir Jawa Timur, perjalanan kereta di Yogyakarta dan Bandung, lembah megalit di pedalaman Sulawesi Tengah, desa nelayan di Bali, teater Acropolis di Yunani, riuh pasar di pinggiran Kairo – Mesir, sampai spiritualitas umroh di kota suci Makkah dan Madinah – Arab Saudi.

Selain menggubah musik beberapa film seperti Letnan Harahap serta Nyoman dan Presiden, Leo Kristi juga sempat berperan sebagai Bung Tomo dalam film Soerabaia 1945. Ia pun pernah beberapa kali memamerkan lukisannya, seperti di Bentara Budaya Jakarta, sambil konser akustik pada 2004. Pengelana, pemusik, penyair, pelukis, dan aktor ini terus berkarya hingga kini. Leo telah menempuh jalan sunyi yang ia pilih sebagai troubadour, pengembara yang mengisahkan catatan-catatan perjalanannya sehari-sehari dalam nyanyian. Ia hidup bersama rakyat jelata di stasiun-stasiun, terminal-terminal, hingga kampung-kampung dan desa-desa, kemudian baru menghasilkan karya. Bukan dari sebuah kamar ber-ac yang steril dari bau keringat pekerja atau harum padang ilalang di pegunungan. Karena itu lagu-lagunya terasa akrab dan tak berjarak dengan keseharian hidup kita. Leo tak memaki dan marah kepada absurditas hidup di sekelilingnya, tapi ia justru menerbitkan optimisme. Ia belajar keliatan hidup kepada petani, nelayan, pekerja, guru, pedagang kecil, tenaga kerja wanita, bahkan anak-anak – kaum marginal yang senantiasa dipolitisir dan diatasnamakan dalam sejarah perjalanan berbangsa kita. Karena itulah Leo Kristi langka dan istimewa dalam jagad seni kita.

Ramdan Malik (LKer – Jurnalis)