
PANDEGLANG, Pelitabanten.com – Polemik soal rangkap jabatan kembali mengemuka di Kabupaten Pandeglang. Sorotan publik kali ini tertuju pada Wakil Bupati Pandeglang, yang diketahui juga menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Kabupaten Pandeglang. Keputusan ini memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat, khususnya para pemuda, aktivis, dan pegiat sosial, yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk “rakus jabatan” dan mencederai semangat kemandirian organisasi kepemudaan.
Sebagai lembaga sosial yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat, Karang Taruna memiliki peran strategis dalam pemberdayaan pemuda serta penanganan masalah sosial di tingkat akar rumput. Namun, ketika posisi ketua diisi oleh pejabat politik aktif, muncul kekhawatiran akan terkikisnya independensi organisasi tersebut. Banyak pihak menilai, kondisi ini berpotensi menjadikan Karang Taruna sekadar alat kekuasaan, bukan wadah pengabdian sosial.
“Rangkap jabatan seperti ini berpotensi menggerus nilai-nilai dasar Karang Taruna. Pemuda kehilangan ruang untuk tumbuh mandiri karena organisasi mereka dipimpin oleh pejabat yang berada dalam lingkar kekuasaan,” ujar Hendi Sujana, aktivis pemuda asli Pandeglang, pada Kamis (23/10/2025).
Hendi menilai, keputusan Wakil Bupati untuk memimpin Karang Taruna mencerminkan kecenderungan memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit. Ia menilai, di satu sisi Wakil Bupati memiliki tanggung jawab besar dalam urusan pemerintahan daerah, sementara di sisi lain jabatan tambahan sebagai ketua organisasi sosial menimbulkan pertanyaan serius soal efektivitas dan fokus kerja.
“Wakil Bupati seharusnya menjadi pembina, bukan penguasa organisasi. Jabatan publik menuntut dedikasi penuh. Ketika seorang pejabat masih mencari kursi tambahan, itu bukan lagi soal pengabdian, melainkan ambisi,” tegasnya.
Langkah tersebut juga dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Karang Taruna, yang seharusnya menjadi mitra kritis pemerintah daerah, dikhawatirkan kehilangan keberanian untuk menyuarakan kritik. Para pemuda bisa jadi enggan menyampaikan pendapat karena struktur kepemimpinan mereka terafiliasi langsung dengan pemerintah daerah.
Kritik terhadap fenomena “rakus jabatan” ini tidak berhenti pada ranah etika, tetapi juga menyentuh aspek moral kepemimpinan. Banyak kalangan menilai, pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjaga batas antara kekuasaan dan ruang sosial. Jabatan publik adalah amanah, bukan sarana memperluas pengaruh pribadi.
Para pengamat menekankan pentingnya mengembalikan Karang Taruna pada marwah aslinya: dipimpin oleh generasi muda yang berintegritas, berjiwa sosial, dan bebas dari kepentingan politik. Hanya dengan cara itu organisasi ini dapat tumbuh sebagai wadah pemberdayaan pemuda yang independen sekaligus menjadi mitra kritis pemerintah dalam pembangunan daerah.
“Pandeglang membutuhkan pemimpin yang tahu kapan harus memimpin dan kapan harus memberi ruang bagi yang lain, rangkap jabatan bukan tanda pengabdian, melainkan cermin ketamakan terhadap kekuasaan,” ujarnya.
Pada akhirnya, masyarakat berharap pejabat daerah mampu menempatkan diri secara proporsional dan menghormati etika jabatan. Karang Taruna harus kembali menjadi ruang bagi pemuda untuk berproses dan berperan, bukan panggung tambahan bagi pejabat yang haus posisi. (MIR)










