Beranda Budaya

Jakarta Ku Kan Kembali [Cerpen]

Jakarta Ku Kan Kembali
Ilustrasi (Foto: Tom Fisk dari Pexels)

Pelitabanten.com – Seperti biasanya malam hari disini penuh keramaian, tapi ramai ini tak bisa menghempaskan saya dengan berbagai macam pikiran diotak, terutama saya hanyalah seorang perjaka yang tidak memiliki pekerjaan jelas luntang lantung di sebuah kontrakan di salah satu pemukiman seadanya, belum lagi orangtua yang selalu menyindir dengan berbagai sikap dan alasan, bak benalu yang ingin disingkirkan tapi saya berusaha untuk menanggapi hal itu dengan santai. Jika pekerjaan belum datang menyapa saya bisa apa?, bukannya malas mencari “Bu” tapi belum ada  kesempatan.

Hingga akhirnya saya memutar otak untuk mereka dan memilih pergi mencari sesuatu hal yang lebih baik dari yang selalu saya lalui di kampung tanah kelahiran ini,karena perekonomian keluarga yang pas pasan dan semuanya serba monoton saya berusaha membuka mata dan telinga perihal disananya bagaimana nasibku nanti kita lihat saja.      

Pagi buta saya langsung mengemas semua pakaian dan beberapa barang berharga yang bisa saya bawa dan pergunakan di Ibukota nanti, ditepian fajar aku menunggu bis di terminal mungkin hari ini adalah hari yang begitu membingungkan entah langkah dan mata sepertinya hanya bisa bergerak dari kanan ke kiri sesekali saya mengikuti laju orang lain dan ternyata orang itu memiliki nasib sama namanya  Trisnodan saya mencari pekerjaan sama sepertiku. Pernah juga ditipu oleh salah satu agen TKI yang ujungnya hanya menyita uang uang saja ujung ujungnya mereka kabur entah kemana, akhirnya kami meilih sebagai tumpuan nasib.

“Tris darimana asalmu?”

“saya dari Suratmajan Jawa Timur Le.” Ucapnya dengan logat Jawa yang begitu Kental

“kamu darimana Le?”

“Saya dari Mauspati,

“Walah itu dekat dengan kampung saya.”

Akhirnya kami berdua mengobrol dan saling menceritakan kehidupan pahit kami masing-masing, tapi kehidpan saya cenderung lebih baik dibandingkan dengan Trisno lelaki ini sudah menjadi duda dan selalu ditpu berkali-kali belum lagi baru diusir dari Kontrakan dia menitipkan anak semata wayangnya kerumah orangtuanya.

Mari kita lupakan sejenak mengenai Trisno..

Tak terasa kami sudah sampai di Ibukota, orang bilang Jakarta adalah kota yang penuh dengan polusi penuh dengan kepadatan penduduk semoga pemikiran mereka salah setelah menyaksikan dan melihat kisahku di Kota ini, pertama yang aku lihat di Ibukota Nampak semua keramaian ini adalah kota yang begitu aktif banyak sekali kegiatan disini, ada yang bekerja dan menggerakan kakinya untuk menapaki bis, berjualan ditengah keramaian kendaraan berlalu lalang dimana saja.

Baca Juga:  Mayat - Mayat Demokrasi [Cerpen]

Tapi aku berdetak kagum ketika melihat beberapa tempat/bangunan di kota ini terlihat begitu klasik dan ini seperti bagunan bersejarah disini sayapun mencari tahu tempat apa ini hingga matapun melirik di salah satu spanduk bagunan bahwa tempat ini bernama “Kota Tua”, semuanya serba ada makanan minuman orang serba berfoto memakai kostum pahlawan bahkan salah satu tokoh horror difilm dan saya melihat setiap berfoto langsung pengunjung memberikan uang ke kotak yang sudah tersedia. Begitu mudahnya mereka mendapatkan uang pikirku, akhirnya saya bersama Trisno juga ikut berfoto-foto dan ikut larut disuasana Kota Tua ini kami melihat bangunan lain.

Malam tiba karena kami sudah lapar akhirnya gerobak dengan label makanan Gado-Gado Betawi dengan gambar begitu menarik akhirnya kami lansung ingin mencoba makanan tersebut,

“Le, ini makanan enak banget.” Dengan logat Jawa Trisno terus menerus berkata seperti itu

Saya hanya membalas senyuman dan ikut memuji makanan ini bahkan Trisno bisa memakan hingga 2 porsi Gado-Gado Betawi

Setelah selesai makan kamipun berpikir akan bermalam dimana?

Akhirnya kami berkeliling mencari kontrakan dengan harga yang murah dan terjangkau untuk kami berdua,

Hingga kamipun tiba di salah satu pemukiman lebih tepatnya di daerah Cakung Jakarta Timur ternyata di Ibukota ini masih ada kontrakan yang terjangkau untuk beristirahat.

Kamipun tertidur dan harus kembali bangun dipagi hari untuk mencari pekerjaan,

Ayam Jantan pun berkokok dan akhirnya kami bersiap-siap untuk mencari kerja, seperti biasanya memang mencari pekerjaan begitu sulit tidak hanya di Ibukota bahkan di kampungku juga sulit sekali mendapatkan pekerjaan tapi kami terus berusaha, hinga berminggu-minggu lamanya tetap saja kami tidak juga memperoleh pekerjaan hingga uang kami pun menipis apa yang haru kami lakukan?

Apa yang akan dikatakan keluarga kami jika di sini hidup tetap saja pas-pasan?

Tapi saya berinistiaf bersama Trisno untuk pergi Ke salah satu tempat pertama kali kita datang yaitu Ke Kota Tua, kami berinisiatif untuk menanyakan ke beberapa orang untuk ikut bekerja dengan memakai kostum disana dan sekalinya berfoto akan mendapatkan uang, selagi tidak ada pekerjaan apapun kami lakukan untuk bisa makan. Akhirnya kami pun bagi hasil dengan beberapa yang bekerja sama seperti ini dan ternyata tidak begitu menakutkan semuanya saling menolong dan saling menjaga, karena yang ku tahu Jakarta adalah kota yang begitu keras ternyata pemikiranku salah.

Baca Juga:  Pengharapan [Puisi]

“Le, mau bekerja seperti ini terus kita”? Ucap Tresno

Lelah yah aku , keluhnya

“Tris, semua pekerjaan memang lelah sabar saja kita jg masih mencari pekerjaan yang lebih baik.”

Saya dan Trisno sebenarnya adalah S1 kami pernah merasakan bangku perkuliahan di kampung kami masing masing.. Saya sarjana Teknik dan Trisno sarjana Ekonomi, ternyata gelar tidak menjamin pekerjaan seseorang, tapi saya tidak boleh gentar demi keluarga dan saya sendiri saya harus merasakan kepahitan ini terlebih dahulu, untung saja ada Trisno yang selalu berbagi pengalaman keluh kesah susah seneng makan sepiring berdua adalah proses kedewasaan bagi kami.

Dulu saya dikamnpung apapun serba ada dari orangtua lain dengan Trisno yang sudah terbiasa dengan keadaan sesulit ini tapi dengan nasihat Trisno saya jadi belajar sabar meskipun sering timbul perselisihan tapi bisa kami selesaikan dengan akal sehat. Kami sudah seperti keluarga dan saling mengisi satu sama lain.

Setiap hari kami selalu membeli surat kabar untuk mencari pekerjaan silih berganti berbulan-bulan kami hilir mudik untuk mendatangi beberapa kantor di Ibukota saya melihat begitu banyak lelaki berjas berdasi hal ini sesekali membuatku minder karena saya hanya menggunakan kemeja seadanya, tapi ini masih tergolong wajar dan masih enak untuk dilihat hiburku dalam hati

Berbagai interview tes demi tes sudah banyak saya lalui bersama Trisno, hingga akhirnya kami sudah mulai lelah dengan kehidupan seperti ini semua cara sudah kami lakukan untuk mencari pekerjaan.

Akhirnya aku termenung di salah satu monumen di Jakarta di malam hari begitu sangat indah banyak sekali lampu lampu bermunculan saya hanya bisa tersenyum sedikit melihat keindahan kota di malam ini..“ Apa yang harus saya lakukan di kota ini” ucapku dengan keputusasaan.

“Le” Teriak Trisno kegirangan

“Coba tebak saya dapat kabar apa”? dengan begitu antusias

“saya sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu kantor di daerah Jakarta Selatan kantor simpan pinjam”

Mendengar itu saya langsung merespon sama seperti Trisno histeris (meskipundalam hati saya sebenernya ada rasa sedih belum mendapatkan pekerjaan. Tapi saya jadikan ini sebagai cambukan motivasi saya tidak boleh iri dengan Trisno karena kita saling tahu bagaimana proses mencari pekerjaan semuanya tidak mudah.

Tak hentinya saya berdoa semoga saya sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan apapun itu asalkan halal dan bisa membuat bangga keluarga di kampung, sesekali saya juga berpikir apa ini karma buatku karena dlu dikampung selalu saya mengampangkan hal apapun tidak menuruti apapun kata orangtua, tapi saya berusaha untuk berlapang dada untuk hal ini. Saya yakin Tuhan telah merencanakan hal yang lebih indah meskipun ini sangat sulit bagi saya.

Baca Juga:  Warga Binaan Rutan Rangkasbitung ‘Ter-Cabik’ oleh Teater Gates

Akhirnya saya memutar ide untuk mencari pekerjaan tidak mengandalkan uang dari hasil jerih payah Trisno

Saya belajar untuk membuat Soto Betawi saya mencoba eksperimen melalui browsing dan sesekali menanyakan ke tetangga racikan Soto Betawi, dan akhirnya saya mengeksekusi makanan tersebut dan meminta para tetangga dan Trisno untuk mencicipinya semuanya bereaksi “Waduh asin sekali Le”

Akhirnya saya mengulang lagi apa yang masih kurang dari masakanku ini

Akhirnya setelah lama mencoba”Wah enak sekali ini loh” para tetangga mulai memuji hasil makananku.

Akhirnya dibantu Trisno sayapun mulai berjualan Soto Betawi, baiknya Trisno meminjamkan uang tabunagnnya untuk modal usahaku.

Akhirnya beberapa bulan berlalu usahaku semakin diterima oleh orang banyak sering sekali Trisno meminta teman kantornya untuk mampir di mencoba Soto Betawi ku ini, seiring jalannya waktu saya akhirnya bisa memiliki kedai dan mulai membuka beberapa cabang.

Dan Trisno memilih untuk melanjutkan hidupnya untuk berumah tangga dengan wanita yang satu kantor dengannya melihat Trisno pulang kampung sepertinya saya juga sangat rindu dengan orangtua dirumah meskipun ia juga akan kembali lagi ke Jakarta untuk membawa anaknya dan keluarga nya diJakarta karena Trisno sudah mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik yaitu sebagai Manajer di salah satu perusahaan Tekstil di Jakarta penampilannya sudah sangat berubah namun semua keramahannya tidak pernah berubah itu yang harus saya tiru dari Trisno.

Di tengah kerumunan pelanggan sotoku saya begitu bersyukur untuk ini semua karena jumlah karyawanku yang semakin banyak dan kedaiku semakin banyak, sudah waktunya saya harus kembali ke kampung dan menujukan hasil kerja kerasku disni. Sesekali saya berfikir apakah saya harus melanjutkan usaha ini dikampung atau memercayakan orang lain mengendalikan usahaku supaya sata tetap dikampung bersama orangtuaku. Tiba-tiba Trisnopun datang sambil menepuk pundakku “Pulanglah le ka kampungmu, tapi tetap percayakan pada dirimu untuk tetap disni lagi karena “Jakarta Ku Kan Kembali”. Saya pun langsung tersenyum.

Penulis: