Beranda Budaya

Berharap Ada Gedung Pertunjukan Memadai di Rangkasbitung, Teater Empat Pentaskan Lakon “Lorong”

Berharap Ada Gedung Pertunjukan Memadai di Rangkasbitung, Teater Empat Pentaskan Lakon “Lorong”
Teater Empat pentaskan lakon berjudul “Lorong” karya Putut Buchori, di Aula Serba Guna STKIP Setia Budhi Rangkasbitung, Lebak-Banten, Sabtu, (22/7/2017)

LEBAK, Pelitabanten.com – Hujan deras yang mengguyur sepanjang sore hingga malam hari tak menyurutkan para pelakon Teater Empat mempersiapkan pementasan berjudul “Lorong” karya Putut Buchori, Sabtu, (22/7/2017) yang sejak tiga bulan lamanya telah berlatih setiap hari – siang dan malam. Setting panggung, tata cahaya, make up dan kostum dipastikan telah siap secara maksimal. Suara air hujan yang menghantam atap baja ringan Aula Serba Guna yang dijadikan tempat pertunjukan menambah hingar suasana saat briefing dimulai.

Di bawah arahan sutradara Dede Abdul Madjid, mahasiswa pasca sarjana ISBI Bandung; Ani Aprianti, Siti Masrurah, Febri Dwi Rahayu, Siti Jubaedah, Neneng Supenti, Yeni Aprilia Farida, Ratih Novita Indriyani, Fitri Hidayanti, Purnasih, Yuli Fatmala, Yunani, Endah Nursaadah dan Salkah, adalah mahasiswi Semester IV Program Studi Bahasa Indonesia STKIP Setia Budhi Rangkasbitung yang tengah menyelesaikan tugas mata kuliah Telaah Drama. Diiringi musik yang tata secara apik oleh Irvan Agustian dan paduan pencahayaan menawan dari Harto Wijaya, terciptalah sebuah pentas perdana yang cukup memukau.

“Mudah-mudahan pertunjukan berjalan lancar dan sukses, deg-degan sih, jangan-jangan gak ada yang nonton, ini penampilan pertama saya bermain teater,” kata Siti Masrurah, atau yang akrab disapa Imas.

Sekira jam delapan malam saat hujan reda, satu persatu tamu undangan berasal dari kalangan pekerja seni, pengurus sanggar, Civitas Akademika, aktivis Imala, Dewan Kesenian Lebak, BEM STKIP Setia Budhi Rangkasbitung juga awak media mulai berdatangan. Perlahan memenuhi lantai aula yang basah. Mereka membawa koran sebagai alas duduk. Batas panggung dan para apresiator berada diatas lantai yang sejajar. Tak ada panggung yang memadai untuk sebuah pertunjukan teater.

“Sebenarnya kami sangat prihatin terhadap panggung pertunjukan teater yang masih jauh dari kata memadai. Yah, namanya juga Aula Serba Guna, kegiatan apapun dilakukan disini. Tapi itu semua tak menyurutkan semangat kami untuk terus berkarya menghidupkan tradisi teater di kota ini (Rangkasbitung), kami terus berharap semoga ada perhatian dari pihak-pihak yang mau peduli terutama dari pemerintah Kabupaten Lebak untuk membangun gedung khusus pertunjukan teater,” kata Dede Abdul Madjid.

Rangkaian acara dibacakan, sambutan Civitas Akademika disampaikan, persembahan dari SMA 2 Rangkasbitung membawakan tarian Angklung Buhun, Parade Puisi dan Pentas Monolog dimainkan oleh Novi, Siswi kelas 3 SMA 2 Rangkasbitung sebagai pentas percobaan yang akan mewakili Lebak pada FLS2N 2017 di tingkat provinsi Banten.

Panggung adalah layaknya rumah-rumah kumuh di pinggiran kota, sanitasi yang mampet dimana-mana, belum lagi jemuran yang bergelantungan melengkapi potret kemiskinan kota. Adegan pertama setelah koor nyanyian pembuka, seorang wanita tergeletak di atas balai bambu merasakan sakit yang luar biasa. Jerit kesakitan yang mengundang tetangganya berkerumun ingin membantu namun karena kebodohan mereka tak tahu harus bagaimana. Ada ketakutan terbayang jika harus dibawa ke dokter karena biaya yang mahal dan siapa yang harus bayar.

“Siapa nanti yang akan membayar biaya pengobatan jika aku dibawa ke dokter?” kata si miskin yang sakit.

Naskah “Lorong” karya Putut Buchori mengangkat tema realisme sosial yang menuturkan kisah orang-orang yang hidupnya selalu terancam oleh kemiskinan. Belum lagi ancaman kekuatan modal yang menjalankan praktek pemiskinan. Sebuah naskah yang sejatinya bercerita tentang betapa mencekamnya drama tiga babak dengan tambahan kolase di awal dan akhir pertunjukan, namun dengan cerdik sutradara mengemasnya dalam bentuk komedi satir yang menggelikan. Penonton yang menyimak pertunjukan ikut terpingkal-pingkal oleh lelucon yang dimainkan dan terdakadang larut dalam suasana kesedihan yang sesungguhnya ironis.

“Naskah ini sengaja saya bongkar menjadi komedi satir yang menggelikan,” kata Madjid. “Saya memainkannya sebagai bahan tertawaan, mencoba mengkritik keadaan dengan menertawakan keadaan itu yang sesungguhnya patut untuk dijadikan sebuah keprihatinan,” imbuhnya.