Beranda Budaya

ARTI

ARTI
Ilustrasi. ist

Pelitabanten.com – Kalau nyawa kita di ambil Tuhan esok hari, apa yang orang ingat tentang kita?. Hal besar apa yang yang sudah kita lakukan untuk orang lain?. Atau, jangan-jangan selama ini kita hanya berpikir untuk diri sendiri, hingga lupa arti keberadaan kita untuk orang lain?

Pertanyaan ini tiba-tiba menyeruak dalam diriku. Seakan ada banyak hak orang terhadap diri kita yang belum ditunaikan. Atau sekedar menguak betapa seringkali kita terlampau egois bagi orang lain.

Lamunan ini menghantarkanku pada kisah yang pernah diceritakan guruku. Hikayat tentang seorang nenek pengumpul kayu bakar yang setiap tengah siang bolong menepi di sebuah surau (tempat ibadah).

Selepas ibadah di surau, sang nenek melepas lelah dengan berteduh di bawah pohon sambil menenggak sebotol air dan menyantap sekepal nasi yang dibungkusnya sebagai bekal dari rumah. Hanya ikan asin yang menjadi lauk rutin baginya, buka hobby melainkan hanya itu yang dapat dibelinya dengan hasil menjual kumpulan kayu bakar yang sekarang makin susah dijual, karena penduduk beralih bahan bakar.

Belum kering keringat di kening dan belum turun sepenuhnya nasi yang ia santap, sang nenek segera mengeluarkan seikat sapu lidi dari sela-sela kayu bakar untuk menyapu daun-daun kering yang berserakan di pelataran surau yang cukup luas. Butuh 2 sampai 3 jam baginya untuk membersihkan seluruh sampah hingga tak tersisa. Setiap hari ia lakukannya sambil tersenyum dan dendang ceria tanpa absen sekalipun.

Apa yang dilakukan sang nenek telah membuat sang penjaga surau merasa kasihan dan malu, padahal dirinya jauh lebih muda dan kuat daripada sang nenek. Hingga akhirnya ia berinisiatif membersihkan daun dan sampah yang berserakan di surau sebelum sang nenek datang. “Pasti sang nenek senang dengan yang aku lakukan, dan tentunya sang nenek dapat beristirahat lebih lama..” Gumam sang penjaga surau yang makin semangat menyapu.

Lewat tengah hari saat tiba di surau, sang nenek mendapati hal yang tidak lazim di perkarangan surau, semua terlihat bersih, tanpa sisa sepotong sampahpun untuk dibersihkan olehnya. Alih-alih senang, sang nenek malah duduk terkulai lemah, dari pelupuk matanya yang keriput keluar aliran air mata dan suara tangis yang tak tersedu.

Pengurus surau yang menantikan reaksi gembira sang nenek, tersontak kaget lalu menghampiri sang nenek. “Wahay nenek, apa gerangan yang membuatmu menangis?”

“Aku sangat sedih, karena begitu aku datang, surau ini sudah bersih…” Ujar sang nenek makin pilu.

“Loh, bukankah mestinya nenek senang surau ini bersih? Dengan demikian nenek tak usah lagi berpeluh untuk membersihkan halaman surau yang kotor dan luas ini?”

“Aku sangat senang melihat surau ini bersih, terutama karena aku yang membersihkannya…”

“Loh kenapa demikian? Bukan sangat melelahkan bagi nenek untuk melakukannya?”

“Anakku… Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tapi aku ingin memiliki arti bagi orang-orang di sekitarku. Tapi aku tak memiliki harta untuk mereka, aku tak memiliki apa-apa  untuk membahagiakan mereka. Hanya tenaga tuaku yang tersisa ini yang bisa aku sumbangkan untuk orang sekitarku.. Aku ingin, setiap pengunjung surau ini senang dengan kebersihannya, dan hanya itulah satu-satunya yang bisa menjadi arti keberadaan hidupku… Lantas, kalau ini diambil, aku tak punya apa-apa lagi… Hiks.. Hiks..”

“Maafkan aku nek, aku yang membersihkan surau ini, dengan niat baik untuk nenek. Baiklah, mulai besok nenek boleh membersihkannya sebagaimana biasa…”

Setelah kejadian itu, penjaga surau dan semua pengunjung merasakan betapa sang nenek begitu berarti untuk mereka. Sebuah arti yang tidak melulu bernilaikan materi.

Tiga tahun sudah sang nenek melakukan kebiasaannya setiap hari. Hingga akhirnya sampah daun kering menumpuk, sudah hampir 3 minggu sang nenek tak datang menyapu. Semua merindukan kebersihan pelataran surau sebagaimana biasanya… Mereka merindukan senyum dan dendang sang nenek setiap kali menyapu. Namun, mulai saat ini mereka hanya bisa merindukannya, sang nenek telah beristirahat selama-lamanya dengan bekas kebaikan yang telah terpatri di setiap pengunjung surau.

Lantas, apa arti berhadiran kita bagi orang lain?

Mari kita tengok dalam diri kita masing-masing, akankah senyum kita begitu mahal untuk kita berikan pada setiap orang sekitar kita?

Ataukah ilmu yang kita miliki terlampau mahal untuk kita sharingkan bagi orang lain?

Ataukah waktu kita sedemikian sedikit, hingga tak sedetikpun kita menyisihkan untuk sebuah arti bagi mereka?

Lalu, apa arti kita untuk sekitar kita?

Oleh: Abdul Latief, WTS

WTS: Writer Trainer Speaker. Penulis telah menerbitkan beberapa buku dan aktif di pengembangan sumber daya manusia, training public speaking, leadership, managemen, motivasi, dan beragam program lainnya bagi termasuk menyemai pengembangan para pelajar dan mahasiswa di Banten dengan program Early Leadership dan Early Motivaton.

follow twitter: @pondok_harmoni

Instragram : @abdullatiefku & @harmonydailyquotes